Makin Serius Garap Pariwisata, Bone Jadikan Gua Mampu Pesaing Gua Gong

  • Bagikan
BONE -  Pemerintah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan makin menyadari pentingnya sektor pariwisata untuk mendongkrak perekonomian. Seperti yang selalu disampaikan Menpar Arief Yahya, bahwa sektor ini paling cepat, mudah, dan murah untuk mendongkrak PDB, devisa maupun ketenagakerjaan. "Murah, karena biaya promosinya hanya 2% dari projection income nya. Tidak ada industri yang hitungannya seperti ini, hanya pariwisata yang mampu," jelas Menteri Pariwisata Arief Yahya. Selain itu, multiplier effect nya 170% dari total investasinya. Berbagai cara dilakukan untuk membenahi sektor pariwisata. Terbaru, Pemkab Bone akan membenai Gua Mampu di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe. Dinas Pariwisata Kabupaten Bone sudah menyiapkan anggaran untuk mempercantik gua itu. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bone Andi Ikhwan menjelaskan, alokasi anggaran yang disiapkan untuk membenahi Gua Mampu sebesar Rp 800 juta. Dana tersebut akan digunakan untuk membenahi sarana dan prasarana di Gua Mampu. Misalnya, penerangan, pembuatan jalan setapak, dan toilet umum. "Proses pengerjaan akan rampung tahun ini. Rencananya kami resmikan Agustus nanti," kata Ikhwan. Ikhwan percaya diri bahwa Gua Mampu akan menjadi salah satu yang paling cantik di Indonesia. Menurutnya, setelah dibenahi, keindahan Gua Mampu akan menyaingi keelokan Gua Gong di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. "Pemerintah Bone serius ingin memajukan sektor pariwisata. Makanya, perlahan destinasi pariwisata diperbaiki," imbuh Ikhwan. Gua Mampu berjarak 60 kilometer dari Kota Watampone, Kabupaten Bone atau sekitar 140 km dari Makassar. Gua itu dihiasi stalagmit dan stalagtit yang unik. Gua ini juga bertingkat. Rongga-rongga kapur saling bersusun sehingga memanjakan pengunjung yang ingin bereksplorasi di dalam gua. Di tiap ruangan terdapat berbagai stalagmit dan stalagtit yang terbentuk secara alami. Bentuknya unik hingga menyerupai berbagai makhluk hidup dan benda-benda peradaban manusia yang seolah telah membatu. Gua Mampu terbentuk dari batuan gamping sehingga pada bagian perutnya terdapat pintu masuk. Di gua ini terdapat enam ceruk yang dihubungkan dengan ceruk lainnya. Meski beberapa terowongan tertentu terdapat tempat-tempat yang cukup gelap, tetapi pada bagian-bagian mulut gua terang. Sebab, jumlah sinar matahari yang masuk cukup banyak. Suhu Gua Mampu, terutama pada bagian mulut berkisar 26-29 derajat celsius. Sedangkan kelembabannya sekitar 80 persen. Dengan keadaan ini, manusia dapat hidup di dalamnya. Penduduk setempat percaya bahwa Gua Mampu awalnya adalah pusat Kerajaan Mampu. Kerajaan Mampu lalu berasimilasi dengan Kerajaan Bone melalui perkawinan hingga kerajaan tua ini meredup. Sejarah Kerajaan Mampu dan legenda Gua Mampu bagai sisi mata uang. Kondisi alam Gua Mampu yang unik tersebut 'dibumbui' dengan legenda rakyat yang dikenal dengan istilah Sijello to Mampu (saling tunjuk orang Mampu). Legenda ini juga tercatat dalam buku Lontara Bugis tentang kisah sebuah perkampungan yang mendapat kutukan dan seluruhnya telah berubah menjadi batu. Hanya saja, hingga kini tidak ada pelurusan tentang legenda Gua Mampu sehingga banyak versi yang berkembang di dalam masyarakat. Dari literatur Kerajaan Bone di Lintasan Sejarah yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone tahun 2015, peristiwa ini bermula pada zaman kacau balau, termasuk di Mampu. Suatu hari, setelah didahului oleh peristiwa alam yang menakutkan dan menimbulkan kekacauan, tiba-tiba muncul dua orang bersaudara di ujung sebelah timur Bukit Lapakkang Riawang yang tidak diketahui asal usulnya. Kedua orang ini bernama  Guttu Tallemma. Sementara itu, wanita bernama We Sinra Langi. Tidak lama setelah kehadiran kedua orang ini, di sebelah barat muncul lagi dua orang bersaudara yakni seorang pria yang bernama La Paturungi dan seorang wanita yang bernama We Senggeng Talaga. Kehadiran keempat orang tersebut yang dikultuskan (disimbolkan Tomanurung), ternyata menarik simpati masyarakat Mampu dan bermaksud menjadikannya pemimpin (arung). Kemudian, di antara keempat To-Manurung ini terjadi kawin saling silang. Setelah perkawinan, kedua pasang To-Manurung hidup makmur dan damai. Selanjutnya, pasangan pertama yaitu Guttu Tallemma dengan We Sengeng Telaga, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Oddang Patara. Sedangkan pasangan yang lain yaitu Lapaturungi dengan We Sinra Langi melahirkan anak yang bernama We Lele Ellung, La Oddang Patara lalu menikah dengan sepupunya, We Lele Ellung, dan beranak pinak. Hal ini membuat La Oddang Patara menguatkan kedudukannya sebagai raja Mampu. Lalu, terjadi bencana. Sang Dewata mengutuk Kerajaan Mampu menjadi batu. Kutukan tersebut akibat keangkuhan putri bungsu La Oddang Patara yang bernama We Apung Mangenre. Kala itu, dia sedang menenun sarung, namun salah satu alat tenunnya, yaitu Kapelu (gulungan benang), terjatuh ke tanah. Karena saat itu tidak ada hamba yang bisa disuruh mengambil alat tenunnya, dia memanggil anjingnya yang bernama La Sarewong untuk memungutnya. Anjing tersebut lalu memungut dan meletakkannya di hadapan We Apung Mangenre. Setelah itu terjadi keanehan pada dirinya. Bagian tubuh mulai berubah menjadi batu. Ketika orang tuanya kembali, mereka makkamparang (bertanya keheranan sambil menunjuk). Setiap orang yang makkamparang akan berubah menjadi batu. Begitu juga dengan seantero negeri Mampu, semuanya makkamparang sehingga seluruh kampung itu menjadi batu. Peristiwa ini disebut sijello to Mampu dalam legenda tersebut. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan