Gajah Mada (1) Orang Selayar, Katanya

Buku tersebut disusun di Jakarta pada 1985 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui program proyek penelitian purbakala.
Dalam buku tersebut bahkan tertulis bahwa mungkin hubungan Selayar dengan daerah luar, khususnya dengan Asia, telah ada sejak masa prasejarah. Dugaan ini didasarkan atas temuan nekara perunggu, yang kemungkinan berasal dari Indocina (Hadimulyono, 1982: 24). Nekara perunggu tersebut diteliti oleh C Ribbie, dan ia berkesimpulan bahwa nekara perunggu tersebut berciri kebudayaan Dongson (van Hoevel, 1904).
Sementara, dalam hukum perdagangan dan pelayaran Amanna Gappa (1884), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga.
Menurut B Schrieke, pada masa itu, kapal-kapal yang memuat barang dagangan pada musim timur berlayar melewati Sumatra (Sumatera), Borneo (Kalimantan), Patani, dan Siam; sedangkan pada musim barat, kapal-kapal tersebut berlayar melewati Bantam, Bali, Bima, Timor, Alor, Selayar, Buton, Maluku, dan Mindanao (1960: 20).
Pada masa Selayar menjadi kekuasaan Gowa, yaitu pada abad ke-17, daerah ini dilalui oleh jalur perdagangan yang melewati pelabuhan Tuban, Gresik, Surabaya, India, dan Asia Selatan (Baso, 1981: 12).
Dari keterangan-keterangan yang sudah disebutkan, tak bisa memang diklaim begitu saja bahwa ternyata Gajah Mada merupakan putra
asal Selayar. Tetapi, Rakhmat juga optimistis bahwa hal ini bisa jadi benar. Sangat mungkin, katanya.
Dalam buku-buku sejarah, Gajah Mada disebut penganut Hindu taat, sehingga setiap daerahnya mesti memiliki candi sebagai tempat beribadah. Maka Selayar juga terindikasi memiliki candi pada masanya.