Bukan cuma tempat kelahiran. Di mana Gajah Mada pada pengujung hayatnya juga masih misterius.
==================
Oleh: Sidic Manggala
Sulawesi Selatan
==================
"Sejauh yang saya pernah baca, sudah lima daerah yang mengklaim Gajah Mada dimakamkan di tempat mereka, mulai dari Sumbawa, Lombok, Tuban, Buton Selatan, dan lain-lain," Rakhmat melanjutkan setelah berdehem pelan.
Di antara klaim daerah-daerah itu, Rakhmat kini lebih sreg pada sebuah pendapat yang punya landasan lebih kuat, bahwa bahwa Gajah Mada atau yang disebut dalam literatur lokal sebagai Palapa meninggal di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan.
Bukti fisik paling riil, sebut dia, ialah adanya Gua Gajah Mada di pesisir Selayar, tepatnya di Pulau Bahuluang (versi Belanda:
Bau Luang). Terukir wajah Palapa (Gajah Mada) di muka gua itu sebagai tanda bahwa sang pati meninggal di sana.
"Saya tidak tahu pasti, tapi menurut teman yang biasa antar turis ke sana, itu tempat menghilangnya (Gajah Mada)."
Dalam kepercayaan Hindu, puncak kesucian seseorang akan
moksa, hilang, tak terlihat menuju ketiadaan (
niskala).
"Itu penafirsan tamu dari Jawa, yang sempat saya antar ke sana, bahwa sesuai penuturan kakek mereka."
"Ini juga masih kemungkinan. Anehnya, tidak semua bisa melihat pahatan wajah Gajah Mada di tebing itu."
"Sebenarnya sore hari jelas, karena memang setelah siang baru perlihatkan jelas bentuknya," lanjut Rakhmat kepada
FAJAR.co.id tanpa jeda.
Tak sulit menuju lokasi Gua Gajah Mada, sebab sekitarnya merupakan
diving spot andalan para penyelam, juga sebagai tempat istirahat yang membetahkan.
[caption id="attachment_141" align="aligncenter" width="300"]

Penampakan Gua Gajah Mada di Selayar, Sulawesi Selatan. (Foto: Rakhmat Zaenal/IST for FAJAR)[/caption]
Hanya saja, ukiran wajah Gajah Mada di muka gua itu, kata Rakhmat, telah sedikit berubah karena dihantam ombak.
"Saya juga ke sana, sekitar November tahun lalu (2016). Saya lihat wajah, mata, hidung. Cuma dagu ini... yang sedikit retak."
Bila dikaitkan dengan catatan histori, lanjut Rakhmat, sangat mungkin Gajah Mada meninggal di Pulau Bahuluang, Selayar.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Gajah Mada melakukan perjalanan laut ke timur pasca-Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda. Ekspedisi tersebut diikuti pula oleh Empu Nala, panglima tertinggi angkatan laut Majapahit, bersama ribuan pasukan.
"Ada sejarawan bilang Gajah Mada ikut, ada pula yang bilang tidak ikut (pada ekspedisi itu). Mayoritas bilang Gajah Mada ikut."
Menurut Rakhmat, ini sesuai dengan Sumpah Palapa yang ingin mempersatukan nusantara--Australia mungkin termasuk dengan bukti-bukti fisik Majapahit yang ditemukan di sana.
"Tapi, memang ke timur (ekspedisinya). Ini jelas dalam kitab Pararaton."
Sayangnya, menurut Rakhmat, di kitab Pararaton tidak jelas disebutkan ke mana tujuan ekspedisi ke timur.
"Tidak jelas. Ada klaim (Gajah Mada) ke Dompu, Sumbawa, NTB, Bali, Lombok, Buton. Ada juga (yang bilang) di Jawa, Lamongan."
"Yang berani saya simpulkan yang ditulis oleh peneliti, menurut arkeolog, bahwa ke timur. Dan Selayar juga punya buktinya. Shangheang (Taruan dan Sai) di Sumbawa bisa juga ditemukan di Selayar."
Ekspedisi ke timur terjadi pada sekitar tahun 1365. Rombongan Majapahit berangkat dari Jawa Timur ke Selayar, lalu menuju Buton, sampai ke Temasek (Singapura).
"Buku (versi) Buton sebutkan begitu. Lewat selayar dulu baru ke Buton, lewat Pasikmarannu, Desa Majapahit (Selayar)."
Sebagai catatan penting, para sejarawan juga belum seiya sekata tentang penyebab pudarnya kejayaan Majapahit yang berpusat di Trowulan. Ada yang mengatakan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit karena bencana alam, sedang yang lainnya mengatakan perang penyebabnya. Ada juga yang menyebut bahwa runtuhnya Majapahit akibat bencana kekeringan.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan bukti-bukti arkeologis, Trowulan, yang berkembang sejak abak ke-13, mengalami keruntuhan pada awal abad ke-16.
Oleh para ahli, Trowulan disamakan dengan Antasari (Kern 1919: 170) atau Antarawulan (Brandes 1896: 27) yang selanjutnya oleh Pirgeaud disamakan dengan Trowulan yang sekarang (Pigeaud: 221).
Berdasarkan data historis, sejak wafatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1311 Caka (1389 M), Kerajaan Majapahit berangsur-angsur mengalami kemunduran karena adanya perebutan tahta di kalangan keluarga raja.
Kabar perebutan kekuasaan ini bahkan sempat terbit dalam berita Cina pada 1377, tentang adanya dua orang utusan dari Jawa. Utusan yang satu berasal dari kraton timur yang rajanya bernama Wu-Yuan-laowang-chieh, sedang yang satunya berasal dari kraton barat yang rajanya bernama Wu-lao-pa-wu.
Diperkirakan yang bernama Wu-Yuan-laowang-chiehx adalah identik dengan Wijayarajasa atau Bhre Wengker, yaitu paman dari Hayam Wuruk, sedangkan yang disebut Wu-lao-pa-wu adalah Bhetara Prabhu atau Hayam Wuruk (Norduyn 1975: 479-489).
Perpecahan semacam ini terus berlangsung setelah meninggalnya Raja Hayam Wuruk yang menurut tradisi Pararaton disebutkan bahwa penguasa kerajaan timur ialah Bhre Wirabhumi, sedang penguasa kerajaan barat adalah Bhra Hyang Wicesa. (Brande: Ibid hal. 31: 5).
Selanjutnya, pada 1403, masih dicatat di dalam berita Cina bahwa ada dua orang utusan dari kerajaan Barat, yaitu Tu-ma-pan dan satunya lagi kerajaan timur ialah Put-ling-ta-hah.
Pada tahun 1405, Laksamana Cheng Ho memimpin suatu misi ke Jawa, dan pada tahun berikutnya (1406) kedua kerajaan di Jawa itu saling berperang. Di dalam peperangan tersebut, pihak kraton timur kalah, keratonnya dihancurkan dan rajanya dbunuh, bahkan 170 orang pengkikut Cheng Ho ikut terbunuh (Groeneveldt 1876: 37).
Ironinya, pertentangan masih saja berlanjut pasca-insiden-insiden berdarah itu, hingga makin memperlemah kekuasaan Majapahit yang pada akhirnya tinggal nama dan sejarah.
Kembali soal Selayar dan Majapahit. Dalam catatan histori, pesisir timur Selayar disebut sudah eksis 4000 tahun sebelum Kerajaan Majapahit ada. Bukti lain menyebutkan bahwa sebelum masuk wilayah kekuasaan Majapahit, Selayar terlebih dahulu masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Singasari pada 1200-an yang beribu kota di Tumapel.
"Ken Arok mendirikan Singosari (Singasari) (pada) 1200," ucap Rakhmat.
Sementara, di Sulawesi Selatan, ada dua wilayah kekuasaan Singasari, yakni Bantaeng dan Selayar. Kekuasaan Singosari sampai di Seram, Maluku.
[caption id="attachment_142" align="aligncenter" width="300"]

Peta wilayah kekuasaan Singasari. (Foto: IST)[/caption]
Dalam peta Singasari, daerah yang baru dikenal saat itu adalah Bantayan (Bantaeng) dan Celaya (Selayar). Dalam Negarakartagama (pupuh XIV), yang ada baru Bantayan, Celaya, dan Makassar.
"Goa, Luwu, dan lain-lain belum ada," sebut Rakhmat.
"Tanah tertua di Sulsel, sesuai pemeriksaan radio karbon, adalah Luwu dan Selayar. Keramik tertua di Sulsel adalah dari Dinasti Yuan, ditemukan di Tampung Jawa, Luwu, dan Selayar. Ini bukan saya yang bilang, ini hasil penelitian Horst Liebner dan Christian Hersink."
Lantas, ketika Majapahit berjaya, disebutkan dalam kitab Negarakartagama puub XIV, karya Empu Prapanca, bahwa Selayar berada di bawah kekuasaan Majapahit.
[caption id="attachment_143" align="aligncenter" width="300"]

Peta wilayah kekuasaan Majapahit sesuai kitab Nagarakartagama Dasawarnana oleh Mpu Prapanca. (Foto: IST)[/caption]
"Bukan bukunya saya baca, tapi naskahnya. Saya cari dalam bentuk naskahnya. Ada
copy-an dari teman. Ada sanskerta dan terjemahan bahasa Indonesia," Rakhmat merinci.
Bukti fisik lain tentang hubungan Selayar dan Majapahit adalah banyak ditemukan barang peninggalan kerajaan, seperti meriam cekbang, koin, gong emas, hingga lonceng Hindu Budha, panande, di Selayar.
"Ini hasil penggalian. Koin rata-rata sudah kabur, dan sudah dijual," tutur Rakhmat yang sudah setahun lebih meneliti dan banyak membaca sejarah Majapahit. "Sebelumnya ini, saya tulis barang-barang sejarah asal Selayar di Leiden, Belanda. Ada ratusan bahkan ribuan benda-benda yang dibawa dari Selayar ke Belanda. "Belanda yang bawa," sebutnya.
Di Selayar juga banyak gua kematian khas Hindu Siwa. "Hindu Siwa dulu tidak dikremasi mayat. Bisa ditemukan beberapa (sampai sekarang)."
Meriam cekbang yang ditemukan di Selayar lengkap dengan lambang surya Majapahit yang melambangkan delapan dewa penguasa delapan penjuru mata angin (I Gusti Agung Gde Putra, 1972: 18). Kedelapan dewa itu adalah Siwa, penguasa bagian tengah; Iswara, timur; Maheswara, tenggara; Brahma, selatan; Rudra, barat daya; Mahadewa, barat; Sangkara, barat laut; Wisnu, utara; dan Sambhu, timur laut (AJ Bernet Kempers, 1977: 72).
[caption id="attachment_144" align="aligncenter" width="300"]

Meriam cekbang peninggalan Kerajaan Majapahit di Selayar. (Foto: Sharben Sukatanya/IST for FAJAR)[/caption]
Meriam cekbang yang serupa di Selayar banyak pula ditemukan di Australia, di dekat Darwin. Meriam jenis ini mirip dengan yang ada di Candi Borobudur.
"Apakah pasukan (Empu) Nala atau Gajah Mada yang bawa ke Selayar? Yang jelas armada Majapahit. Tidak mungkin orang pribadi, dan tidak sembarang orang memilikinya."
Dahulu, jelas Rakhmat, meriam cekbang dipasang di kapal-kapal perang Majapahit. Meriam ini yang membuat takut kapal-kapal petualang atau pedagang dari Eropa yang mulai masuk wilayah nusantara sejak 1400-an.
Meriam cekbang diadaptasi dari meriam Mongol ketika pasukan dari Asia Tengah meyerang Raja Kartanegara. "Konon, menurut cerita, Majapahit adaptasi (meriam cekbang) dari situ."
Bukti lain adalah terdapat gong emas dengan simbol sinar surya Majapahit di Desa Lowa, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Selayar.
"Tidak mungkin yang memiliki gong emas itu pasukan biasa, karena dari emas. Pasti para petinggi kerajaan (Majapahit), sehingga orang prediksi (gong emas) dibawa oleh Nala sendiri."
"Sesuai penelurusan kami, gong emas itu ada ketika masyarakat dikumpulkan untuk menyambut armada Majapahit. Masyarakat menyambut dengan kentongan, lantas diganti dengan gong emas."
Ekspedisi armada Majapahit tersebut melibatkan 3000 pasukan Majapahit di bawah kendali Empu Nala, panglima tertinggi angkatan laut Kerajaan Majapahit. Inilah yang disebut sebelumnya sebagai ekspedisi Gajah Mada ke timur pasca-perang Bubat.
Lebih mencengankan lagi sebab Selayar punya daerah bernama Desa Majapahit. Letaknya di Kecamatan Pasimarannu. Dan, di desa itu ditemukan Lingga. "Sebenarnya ada pasangan(nya)," Rakhmat menyambung.
Lingga ini semacam model nisan di kuburan, tapi simbol kemaluan. Lingga bentuknya silinder, seperti
phallus, kelamin laki-laki. Pasanggannya disebut Yoni.
Lingga (bahasa Sanskerta:
lingam) merupakan simbol Dewa Siwa, sedangkan Yoni melambangkan Dewi Parwati, istri atau shakti Siwa.
Kedua lambang ini merupakan simbol kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang sangat dipuja dan sangat dihormati oleh para penganut Hindu aliran Siwa, sebagai kesatuan yang maha-tinggi atau totalitas daripada segala yang ada alias
purusa-pakrti (Siswani, 1972: 11).
Lingga-Yoni sebagai lambang Dewa Siwa tertinggi biasanya diletakkan di bilik bangunan candi sebagai obyek pemujaan. Dalam sejarahnya, Lingga tertanam di tengah Yoni.
Yoni memiliki cerat saluran air atau pranala (Stutley Margaret, 1980: 82). Pada prosesi pemujaan, puncak Lingga disiram dengan air suci, air mengalir sampai bagian atas Yoni, lalu mengucur ke lantai melalui cerat Yoni yang biasanya menghadap ke utara.
Di tempat asalnya, India, Yoni umumnya berbentuk bulat dengan cerat yang menonjol (seperti
vulva, kelamin perempuan), namun di Indonesia, Yoni kebanyakan berbentuk persegi dengan hiasan ular atau naga, seperti yang banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Jawa Tengah, kebanyakan Yoni merupakan peninggalan masa Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, atau sebelum Pu Sindok memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur (abad X Masehi), umumnya pahatan penyangga cerat berbentuk ular kobra.
Di Jawa Timur, Yoni berasal dari masa Pu Sindok hingga Majapahit (abad XV Masehi), hiasan penyangga cerat berbentuk naga dengan pahatan yang lebih detail.
[caption id="attachment_145" align="aligncenter" width="300"]

Lingga yang ditemukan di Desa Majapahit, Selayar. (Foto: Asnawi Dahlan/IST for FAJAR)[/caption]
Di samping bukti-bukti yang disebutkan di atas, banyak pula ditemukan di Selayar berupa arca, tembikar, hingga gelang naga .
"Angkatan perangnya Majahapit lambang naga," kata Rakhmat tambah semangat.
Ditemukan pula guci. Guci ini terbuat dari batu yag dipahat, bukan dari tanah liat.
"Kalau dilihat dari arkeolog, (guci ini dari tahun) 1340-an, dan beberapa disimpan di (Benteng) Rotterdam, Balai Purbakala (Makassar)."
Ada juga ditemukan keris bethok di Selayar. "Besi, rata-rata sudah berkarat. Model lamanya keris bethok Singasari," imbuh Rakhmat, "Di hampir seluruh daratan Selayar gampang kita temukan perhiasan kuno."
Ini menandakan bahwa Selayar sudah eksis sejak dahulu kala, bahkan sebelum Majapahit menancapkan kekuasaannya di nusantara. Hal ini didukung bukti-bukti fisik, literatur lokal dalam
lontara, hingga penelitian arkeolog, sehingga sulit ditampik sebagai tambahan sejarah baru nusantara.
"Selayar dari zaman dahulu sudah sangat terkenal dengan vanili, biji mete, dan kopra maupun kopi," Bupati Selayar, Muh Basli Ali, angkat bicara, "
Lontara itu lebih dahulu ada daripada bahasa Sanskerta. Itu jadi tolok ukur bahwa pada saat itu
DNA sesepuh kami sudah pandai baca tulis."
(Bersambung)