Pemberantasan Korupsi Tak Boleh Dimonopoli KPK

Lebih lanjut, Yusril menerangkan, kewenangan penyelidikan DPR melalui angket adalah untuk menyelidiki efektivitas pelaksanaan UU.
Dia mengatakan, hal itu sejalan dengan ketentuan didalam Pasal 203, 204, dan 205 UU MD3.
Dia juga mengungkapkan, sejak ada amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menjadi KPK, sudah ada pandangan yang mengkhawatirkan, tumpang tindihnya lembaga itu dengan lembaga penegakan hukum lainnya.
Yakni seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Saat itu, Fraksi TNI yang masih ada di DPR, sudah memprediksi terjadinya masalah itu.
Yusril juga menjelaskan, sejak awal KPK memang diberikan kewenangan luar biasa oleh pemerintah dan DPR saat pembentukannya dahulu. Namun, dia mengingatkan, bahwa lembaga yang punya kewenangan luar biasa, tidak bisa permanen.
Sebagai contoh, di era Soeharto, ada lembaga Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib).
Saat itu, untuk pemulihan keamanan dan ketertiban, merupakan tugas Polri. Namun, presiden memberikan kewenangan kepada TNI lewat Komkamtib. Dalam perjalanannya, Komkamtib banyak dikritik dan menimbulkan sejumlah insiden.
“Lalu Komkamtib diakhiri sendiri oleh Soeharto,” ungkap Yusril.
"Yang jelas, suatu lembaga yang dibentuk dalam keadaan serius, darurat, kemudian diberi kewenangan luar biasa, maka sifatnya tidak permanen. Itu jika dilihat dari sistem ketatanegaraan,” imbuhnya.
Dari sisi historis, Yusril menjelaskan hak angket parlemen sudah dipraktikkan, bahkan sejak awal berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).