Ogah Tanggapi Protes, Israel Kukuh Pasang Detektor Logam di Masjidilaqsa

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID - Gelombang protes dan kecaman yang diarahkan kepada Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu sepertinya dianggap angin lalu. Sebab, hingga kemarin (23/7) Israel mempertahankan keputusannya untuk menempatkan detektor logam di Masjidilaqsa. Padahal, teguran keras terus berdatangan. Termasuk dari Liga Arab, Paus Fransiskus, dan PBB. ”Jerusalem adalah garis merah. Tidak seorang pun warga Arab atau umat muslim akan membiarkan tindak kekerasan terjadi di sana,” kata Ahmed Abul Gheit, ketua Liga Arab, terkait dengan krisis yang dipicu kematian dua polisi Israel pada 14 Juli tersebut. Menurutnya, pemasangan metal detector alias alat pendeteksi logam dan kamera pengawas pascainsiden tersebut terlalu berlebihan. Seperti Abu Mazen atau Mahmoud Abbas, pemimpin tertinggi Palestina, Gheit pun menyebut kehadiran alat pendeteksi logam dan kamera pengawas di pintu-pintu masuk Masjidilaqsa sebagai bentuk intervensi Israel. Padahal, selama ini telah disepakati bahwa pengelolaan Masjidilaqsa berada di tangan muslim. Yakni pemerintah Jordania. Karena itu, wajar jika campur tangan Israel di bidang keamanan memicu amarah muslim. Bagi Gheit, pengamanan berlebih yang Israel terapkan di Masjidilaqsa tersebut menjadi bukti bahwa negara itu sedang bermain api. ”Itu bisa memicu krisis yang lebih besar dengan masyarakat muslim dan Arab,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Paus Fransiskus mengimbau semua pihak yang terlibat dalam konflik bisa menahan diri. Dari Vatikan, dia berharap konflik tersebut bisa diselesaikan lewat dialog damai.
Kemarin Israel bereaksi atas tekanan yang terus berdatangan dengan menggelar rapat kabinet. Netanyahu menyatakan bersedia merevisi kebijakan keamanan yang diterapkan di Masjidilaqsa. Namun, kubu ultranasionalis menolak wacana penarikan alat pendeteksi logam dari sejumlah gerbang. Sebab, dengan alat tersebut, mereka yakin bahwa Israel menjadi lebih aman. ”Itu (alat-alat pendeteksi logam, Red) akan tetap berada di sana. Para pembunuh tersebut tidak akan pernah memberitahukan kepada kita cara untuk memburu para pembunuh yang lainnya,” tegas menteri pembangunan regional sekaligus politikus senior Partai Likud, Tzachi Hanegbi. Dalam wawancara dengan Army Radio, dia menyatakan bahwa aksi protes Palestina dengan tak mau memasuki Masjidilharam bukanlah urusan Israel. Berbeda dengan Hanegbi, Mayjen Yoav Mordechai meminta Jordania dan negara-negara Islam lain memberikan saran, selain penarikan alat pendeteksi logam. ”Saran-saran yang lain mungkin akan kami pertimbangkan. Bahkan bisa kami terapkan,” ungkapnya. Sebab, seperti negara-negara yang lain, Israel butuh solusi keamanan di kompleks Haram Al Sharif tersebut. Bukan solusi politik atau religius. Di tempat lain, Letjen Gadi Eizenkot dan Menteri Keamanan Masyarakat Gilad Erdan justru mengimbau militer untuk siap menghadapi konflik yang lebih besar. Namun, menurut Erdan, Israel bisa mengubah peraturan tentang alat pendeteksi logam di Masjidilaqsa. Peralatan canggih yang dipasang setelah pemuda Palestina membawa masuk senjata api dan membunuh dua polisi pada pekan lalu itu bisa dinonaktifkan. ”Jamaah yang sudah dikenal baik oleh petugas keamanan di Masjidilaqsa dan beribadah di masjid secara rutin atau jamaah lanjut usia atau siapa pun yang mendapatkan rekomendasi keamanan dari kami bisa saja tidak perlu melewati alat pendeteksi logam tersebut,” papar Erdan. Namun, dengan mengurangi fungsi alat itu, Israel jelas akan menyiagakan lebih banyak personel keamanan di sana. Selain alternatif tersebut, menurut Erdan, memasang teknologi pengenal wajah di setiap kamera pengawas juga bisa menjadi solusi. Sayang, Israel harus mempersiapkan semua itu lebih dulu. Juga, sebelum alat-alat itu tersedia, pengamanan di gerbang-gerbang yang menuju Masjidilaqsa akan tetap mengandalkan alat pendeteksi logam. Hari ini (24/7), rencananya, Dewan Keamanan (DK) PBB menggelar rapat khusus untuk membahas konflik terbaru Israel-Palestina di Masjidilaqsa. Rapat yang digagas Mesir, Prancis, dan Swedia tersebut akan digelar secara tertutup. Tiga negara itu mendesak DK PBB untuk bertindak setelah Abbas memutuskan segala bentuk komunikasi dengan Israel pada Jumat (21/7). Konflik di Masjidilaqsa bermula pada 14 Juli. Saat itu dua polisi tewas karena ditembak. Israel lantas menutup Masjidilaqsa. Keesokan harinya, alat-alat pendeteksi logam dipasang di gerbang-gerbang Haram Al Sharif. Sikap Israel itu memicu aksi protes Palestina. Bentrokan pecah di beberapa lokasi sejak pekan lalu. Total, delapan orang tewas. Tiga orang di antaranya warga Israel yang ditusuk pemuda Palestina. (AFP/Reuters/BBC/hep/c11/any)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan