Jangan Cuma KPK, DPR Juga Dituntut Soroti Kinerja Kejaksaan

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di Pemekasan, Madura, beberapa hari lalu mengisyaratkan bahwa masih adanya celah korupsi di tataran bawah akibat belum maksimalnya fungsi penegakan hukum di Tanah Air. Dalam aksi OTT tersebut, KPK menangkap Bupati Pamekasan, Ahmad Syafii, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Rudy Indra Prasetya. Mereka dijadikan tersangka suap dalam kasus penyelewengan pengelolaan dana Desa Dasok. Besarnya Rp 250 juta. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengatakan bahwa OTT KPK pada bupati dan Kajari menjadi bukti bahwa masih adanya celah korupsi di tataran bawah. Semestinya, kata dia, persoalan tersebut menjadi perhatian DPR secara komprehensif. "Fungsi pengawasan mereka (DPR) bukan hanya untuk KPK," ujarnya di Jakarta, kemarin (5/8/2017). Saat ini, menurut dia, DPR justru mengkritisi KPK yang kinerjanya banyak mendapat apresiasi publik. Sementara itu, lembaga penegak hukum lain, seperti kejaksaan, belum mendapat prioritas para politikus di Senayan. Padahal, kinerja kejaksaan selama ini sering dikeluhkan masyarakat. Terpisah, Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla, memuji kinerja KPK yang berhasil mengungkap dugaan penyimpangan implementasi dana desa di Pamekasan. JK berharap operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK itu menjadi shock therapy bagi semua aparatur untuk tidak mencoba bermain-main dengan dana desa. "Sudah bagus ada (OTT) itu, nanti diperbaiki supaya lainnya tidak berbuat," kata JK di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kemarin (5/8/2017). Seperti diberitakan, OTT oleh KPK di Pemekasan berawal dari dugaan penyelewengan pengelolaan dana desa oleh Kades Dasok Agus Mulyadi. Kejari mengumpulkan bukti dan keterangan. Karena takut masuk penjara, Agus melapor ke Inspektur Inspektorat Pamekasan Sutjipto. Akhirnya, dengan restu Bupati Ahmad Syafii, mereka menyuap Kajari Rudy Indra Prasetya. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, dari sisi regulasi, banyak aspek pengelolaan dana desa yang menimbulkan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk "bermain". Salah satu contohnya adalah perencanaan pembangunan desa. Dalam UU 6/2014 disebutkan bahwa desa menyusun perencanaan pembangunan dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Nah, kalimat "mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota" itu dimanfaatkan betul oleh para bupati/wali kota untuk melakukan permainan politik. Caranya, menyetir langkah dan kebijakan para perangkat desa. "Celah ini yang jadi pintu masuk penyelewengan dana desa," katanya. Berdasar penelusuran KPPOD, fenomena yang terjadi saat ini, justru para kepala desa bersama pendampingnya berhadap-hadapan dengan pemda yang ingin memaksakan kewenangannya pada pengelolaan dana desa. "Padahal, dana desa itu adalah cermin visi-misi kepala desa, bukan bupati," ungkapnya. Robert mengungkapkan, itu terjadi hampir di setiap kabupaten di Indonesia. Padahal, dalam pembangunan daerah, pemda punya kewenangan sendiri, punya wilayah kerja sendiri, APBD sendiri, dan tata laksana sendiri. Lagi pula, APBD sudah disuplai dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) setiap tahun. "Jikapun pembangunan daerah melibatkan desa, namanya partisipasi pembangunan oleh desa, ada mekanismenya sendiri," katanya. Dalam kasus Pamekasan, misalnya, bupati turut mensponsori korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, pejabat pemkab, dan perangkat desa. Itu menyalahi fungsinya sebagai pengayom desa. Menurut Robert, yang perlu diawasi saat ini justru para bupati, inspektorat, hingga aparat penegak hukum di daerah seperti kejari. "KPK jangan berhenti di Pamekasan. Saya yakin masih banyak di daerah lain yang model bagini," katanya. (byu/tau/tyo/c10/nw/fajar)  
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan