Mengenang Keganasan Westerling, Perlukah Kembali Diperingati?

Tulisan ini dibagi atas tiga bagian. Bagian pertama---karena keterbatasan ruang dan kolom maka dipecah menjadi dua tulisan---akan membahas tentang peristiwa sadis nan menyedihkan 40.000 jiwa dan pro-kontranya. Bagian kedua bercerita tentang sosok Raymond Pierre Paul Westerling dan sepak terjangnya, dan bagian terakhir memaparkan konspirasi dan sikap Belanda atas pembantaian yang dilakukan tentaranya yang masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang memungkinkan diajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.
Tulisan pertama ini dibuka dengan nightmare warga Sulawesi Selatan. Bermula ketika Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946. Ia memimpin 120 orang dari DST dan mendirikan markas di desa Mattoanging. Di sinilah si ”Turki” (gelarannya karena lahir di Turki) menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri. Ia tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), ketentuan yang mengatur tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan.
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah Desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah Timur Makassar. Westerling sendiri yang memimpin operasi ini. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H Dolkens menyerbu Desa Borong, dan pasukan kedua dipimpin Sersan Mayor Instruktur J Wolff beroperasi di Desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di Desa Batua.