Mengenang Keganasan Westerling, Perlukah Kembali Diperingati?

  • Bagikan
Mantan Tentara KNIL, Van Der Muur, bersama Sukriansyah S Latief di wisma para mantan tentara KNIL, Arnhem, Belanda.
Pada fase pertama aksi, pukul 04.00 dinihari, wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 05.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke Desa Batua. Pada fase ini, sembilan orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 08.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di Desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria. Fase kedua dimulai dengan mencari ”kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh” versi Westerling. Ia sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke Bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama ”pemberontak” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrecht-–pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok, dan seorang pembunuh. Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir ”pemberontak, teroris dan perampok”. Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 04.00 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan