Mengenang Keganasan Westerling, Perlukah Kembali Diperingati?

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947, Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktikkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abokangeng, Padakalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talanbangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa. Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette. Pada 16 dan 17 Februari Desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian dengan alasan ”ekstremis” bereskalasi di Desa Kulo, Amperita dan Maroanging sejumlah 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya dengan alasan ”teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.