Klaim 51 Persen Saham Freeport Hanya Euforia Semu

FAJAR.CO.ID -- Pemerintah Indonesia mengklaim perundingan dengan PT Freeport pada 29 Agustus 2017 lalu telah mencapai empat kesepakatan penting.
Kesepakatan tersebut diklaim mulai dari kesediaan perusahaan asal Negeri Paman Sam itu mengubah rezim Kontrak Karya (KK) menjadi rezim IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), divestasi 51 persen sahamnya kepada pihak Indonesia, membangun smelter selambat-lambatnya hingga 2022, hingga peningkatan penerimaan negara secara agregat yang lebih besar daripada rezim KK.
Dalam beberapa hari terakhir, kesepakatan itu dipandang sebagai bentuk keberhasilan pemerintahan Joko Widodo.
"Saya apresiasi semangat mendapatkan saham mayoritas. Tapi saya kira terlalu tergesa jika kesepakatan itu dianggap sebagai kemenangan besar bagi pihak Indonesia," kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Senin (4/9/2017).
Ia mencatat beberapa persoalan yang harus diperhatikan oleh publik terlebih dahulu agar tak terjebak pada euforia semu.
Pertama, jika mengacu kepada UU 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba), perpanjangan KK sebenarnya baru bisa diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Dalam kasus Freeport, karena KK berakhir pada 2021, maka pengajuan perpanjangan sebenarnya baru bisa dilakukan pada 2019.
"Nah, ini belum juga 2019 tapi pemerintah telah menyetujui perpanjangan izin Freeport hingga 2041, meskipun dengan perubahan status dari semula KK kemudian menjadi IUPK," terangnya.
Kedua, menurut Fadli, perubahan KK menjadi IUPK sebenarnya bertentangan dengan banyak ketentuan yang ada dalam UU 4/2009, apalagi dasar hukumnya hanya diciptakan oleh Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, yang kedudukannya jelas lebih rendah dari UU. Permen itupun kini bahkan telah diubah lagi oleh pemerintah sendiri.