Klaim 51 Persen Saham Freeport Hanya Euforia Semu

  • Bagikan
Hal ketiga yang patut diperhatikan bahwa UU 4/2009 tidak mengakui rezim kontrak dan rezim izin yang berlaku secara bersamaan. "Artinya, jika menjadi subyek kontrak karya, ya kontrak karya saja, tidak bisa menjadi subyek kontrak karya tapi sekaligus juga menjadi subyek izin usaha pertambangan secara bersamaan, ataupun sebaliknya," terangnya. Dengan kata lain, simpul Fadli, kesepakatan pemerintah dengan Freeport terakhir ini sebenarnya ambivalen. Sebab, meskipun disebutkan jika Freeport telah setuju menjadi IUPK, namun di sisi lain masih ada Permen ESDM No. 28/2017 yang menyatakan jika status IUPK bisa saja diberikan dalam jangka waktu tertentu, di mana setelahnya jika ada kondisi tertentu yang lain maka status IUPK tadi bisa kembali diubah menjadi KK. "Ini rezim dengan tata perundang-undangan yang sangat kacau," kritiknya. Dalam catatan dia, pemerintah hingga tahun 2015 masih berpandangan sama seperti ini, bahwa sebelum masa kontrak habis, KK tidak bisa menjadi IUPK. "Coba saja dinalar, bagaimana bisa kita harus membayar saham kepada sebuah perusahaan yang valuasinya hanyalah berasal dari kekayaan alam kita sendiri?! Lebih aneh lagi, bagaimana bisa kita membiarkan diri kita pusing memikirkan bagaimana caranya membeli saham dari sebuah perusahaan yang kontraknya akan segera habis?! Ini sangat mencederai akal sehat," tegas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut. Fadli menambahkan, DPR melalui Komisi VII akan segera memanggil pemerintah untuk mendapatkan penjelasan mengenai hal ini. Menurut dia, pemerintah tak sepatutnya memanipulasi kesediaan Freeport mendivestasi 51 persen sahamnya sebagai sebentuk kemenangan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan