Sulsel Butuh Pemimpin Komitmen untuk Berantas Korupsi

Dijelaskan lebih jauh bahwa, filosofi terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pemaknaan kejahatan luar biasa yang harus ditindaki dengan cara luar biasa pula.
Dia pun mengatakan, faktor utama terjadinya korupsi, karena biaya demokrasi saat hendak menjadi pemimpin yang mahal.
"Ini salah satu filosofi pembentukan KPK yang diberi 9 kewenangan pamungkas dalam Pasal 12 UU KPK. Dengan demikian ada tiga institusi pemberabtas korupsi, tetapi realitas berkata lain. Korupsi terus saja terjadi sampai ke desa. Tentu ada yg tidak efektif dalam pebanganan korupsi yang terus menggurita. Salah satu pemicunya, karena biaya politik untuk meraih jabatan publik terlalu mahal," jelasnya.
Sementara pejabat publik (penyelengara negara), lanjutnya, itulah yang dipilih rakyat dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar yang membuat kebijakan.
"Akibatnya, tentu bisa ditebak, setelah terpilih akan mengembalikan uang besar yang dikeluarkan itu, atau memberi proyek yang dibiaya APBN-APBD kepada oknum pengusaha hitam dengan cara yang bertentangan dengan prosedur dalam pengadaan barang/jasa, sebagai balas budi. Jika hal ini tdk dijinakkan dengan baik, saya pessimis korupsi di negeri ini akan semakin sulit dihentikan, atau setidaknya dikurangi intensitasnya," imbuhnya.
Lebih jauh dia membeberkan, sampai awal Desember 2017 ini, dalam catatan Prof Marwan, sudah ada 377 kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) sejak Pilkada langsung mulai Juni 2005 sampai sekarang yang terjerat kasus korupsi yang diproses oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.