Sisi Ekstrem Kecanduan Ponsel, Ternyata Sebahaya Narkoba

Mereka kemudian terobsesi untuk kurus. Caranya macam-macam. Yang positif adalah olahraga dan diet seimbang. Namun, banyak yang sampai menjalani diet superketat atau melakukan berbagai tindakan pelangsingan tanpa pengawasan ahli. Penderita BDD juga rentan mengalami depresi karena dibayangi kekurangan fisik yang dirasa perlu tutupi.
Dalam kasus ekstrem, Mierrina menyatakan bahwa pecandu gawai mengalami no mobile phone phobia. Penderita fobia tersebut memiliki kekhawatiran tidak rasional ketika ponselnya tertinggal atau dalam kondisi mati.
’’Mereka takut ketinggalan berita. Di sisi lain, secara sosial, mereka takut dianggap mengabaikan atau dicap sombong kalau terlambat membalas chat atau tidak mengunggah foto atau video di media sosial,’’ paparnya.
Dr Hendro Riyanto SpKJ menilai kecanduan gawai sebagai candu yang sama kuatnya dengan narkoba. ”Sebab, kinerjanya hampir sama. Mengakses konten di media sosial atau internet yang ada di gawai bisa meningkatkan endorfin yang memicu rasa senang,” terangnya.
Spesialis kesehatan jiwa RS Jiwa Menur, Surabaya, itu menyatakan bahwa produksi endorfin berlebihan akan menimbulkan adiksi.
”Ketika sudah dalam tahap adiksi, orang-orang ini ibarat tidak bisa dilepas dengan ponselnya. Sama seperti kalau orang kecanduan narkoba, tapi tidak dapat suplai. Akhirnya muncul sakau dan mereka bakal melakukan apa pun supaya mendapat apa yang mereka mau,” lanjutnya.
Hendro mengungkapkan, kacaunya produksi endorfin tersebut diperparah dengan kondisi pecandu yang umumnya kurang tidur. Pria yang juga mengajar di Universitas Katolik Widya Mandala tersebut menuturkan bahwa dalam kondisi itu, pecandu akan mengalami gangguan emosional. ”Mereka jadi lebih sensitif. Jika kasusnya parah, mereka akan marah-marah dan berperilaku anarkistis,” tuturnya.