KPU Harus Singkap Catatan Hukum Kandidiat

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya menelisik lebih dulu riwayat hukum para kandidiat calon pilkada serentak 2018 mendatang. Itu agar pemimpin daerah yang terpilih nantinya dijamin bersih dari catatan hukum.

Riwayat hukum cakada dinilai penting, agar tidak ada lagi kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh penegak hukum.

Partai Politik (Parpol) juga tidak boleh cuci tangan jika ada kepala daerah yang diusung tersangkut kasus korupsi. Karenanya, parpol harus mengevaluasi secara menyeluruh rekam jejak kandidat di pilkada, terutama dari perilaku korupsi dan amoral.

Dengan demikian, kepala daerah yang terpilih nantinya memiliki integritas tinggi dan bersih dari kasus hukum.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel, Muh Iqbal Latif, mengatakan, sebenarnya kunci dari kepala daerah yang bebas korupsi ada pada parpol. Mengingat, KPU hanya sebagai penyelenggara. Kalaupun ada kandidat dengan rapor merah, tetap saja bisa mengikuti proses dan mendaftar di KPU sesuai ketentuan.

“Intinya kembali ke parpol pengusung. Parpol yang harus memilih figur yang dianggap bebas hukum. Kalau KPU hanya menjalankan tugas sebagai penyelenggara saja,” kata Iqbal, Kamis (4/1).

Ia mengungkapkan, jika ada kandidat yang berstatus sebagai mantan narapidana, maka diwajibkan menginformasikan statusnya kepada publik melalui media massa. Hanya, ada aturan khusus jika pejabat yang korupsi dan keluar penjara lebih dari lima tahun, maka tidak diwajibkan.

“Jika calon kepala daerah pernah menjadi terpidana dan telah bebas lebih lima tahun, tidak perlu disampaikan ke publik. Kalau tak cukup dari lima tahun ke bawah, harus diumumkan ke publik,” jelasnya.

Pengumuman status hukum di media massa tersebut, lanjutnya, menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi saat melakukan pendaftaran. Ketentuan ini sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017. “Ini sudah diatur dalam PKPU, sehingga wajib diikuti,” terangnya.

Komisioner Bidang Humas KPU Sulsel, Asrar Marlang, menambahkan, jika ada kandidat yang menyandang status tersangka, tidak serta merta menghambat dalam pencalonannya. Secara formal, tidak ada masalah.

“Kalau status tersangka belum membatalkan pencalonan. Secara formal itu tidak masalah. Yang masalah, kalau sudah terpidana atau sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap,” jelas Asrar.

Dijelaskan, dalam Bab 2 Pasal 4 Ayat 1 tentang persyaratan calon dengan bunyi seperti berikut. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana karena alasan politik.

“Terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pidana tidak di dalam penjara,” pungkasnya.

Sementara, Pakar Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI), Prof Hambali Talib, mengungkapkan, berbicara masalah hukum, banyak pengkategorian penyelesaian yang harus dipahami. Apalagi terjerat hukuman hingga dua kali. Sehingga bukan hanya kasus korupsi, kasus lain pun yang bersangkutan langsung dengan hukum menjadi poin dalam Peraturan KPU tersebut.

“Kalau dia menyatakan bahwa berulang itu biasanya disebut residifis, masuk keluar lagi, pengulangan maksudnya. Kalau undang-undang menyatakan bahwa yang berulang dan melaksanakan hukuman, karena hukuman itu banyak, ada hukuman denda, hukuman kurungan, hukuman pidana,” kata Prof Hambali.

Bahkan, kasus korupsi yang tidak sampai pada hukuman pidana tetap masuk dalam kategori hukuman yang harus diperhatikan. Karena, banyak yang tidak bisa memahami arti dari tiap kategori hukuman yang diberikan.

“Nah banyak yang kadang menafsirkan bahwa hukuman percobaan itu bukan hukuman. Gorontalo juga itu pernah berpolemik. Dia bilang, ia saya dihukum tapi saya tidak perlu didalam tahanan. Hukuman juga itu namanya dalam Pasal 10 KUHP,” paparnya.

Ia menegaskan, apapun status hukuman yang didapatkan pasca melakukan sebuah pelanggaran, hal itu tidak bisa lepas dari aturan PKPU ditambah lagi hingga berulang.

Sehingga, penyelenggara pilkada harus matang dalam melakukan pengawasan bakal calon yang akan melakukan pendaftaran, jangan sampai terjadi persoalan di kemudian hari.

“Harus diliat dulu adakah pengecualian. Jadi kalau dia menyatakan berulang itu berarti residifis dalam bahasa hukum. Kalau itu terjadi, kalau ada orang yang pernah dihukum, dihukum itu tadi berbagai kategori dan termasuk itu semua tadi,” terang Prof Hambali.

“Menurut saya yah harus tunduk pada aturan itu, bahwa yang bersangkutan dianggap tidak layak untuk menjadi calon kepala daerah. Karena ada syarat yang ia tidak penuhi, antara lain dia bebas dari tindak pidana atau tidak pernah menerima hukuman yang berulang,” lanjutnya.

Apalagi, kata dia, KPU adalah tanduk penyelenggara yang tentunya menjadi ujung tombak untuk memfilter berbagai kemungkinan adanya hal yang dapat menimbulkan gejolak nantinya.

“Hingga menurut saya KPU harus taat dengan payung hukum itu. Sebagai acuan KPU harus memperhatikan bahwa aturan itu tidak dilanggar dan menjadi acuan bagi KPU dalam verifikasi calon. Sehingga, tidak menimbulkan masalah nanti dikemudian hari,” jelasnya.

Prof Hambali menegaskan, sebagai kendaraan bakal calon, parpol juga harus cerdas dalam menentukan usungan. Penting untuk tidak asal melihat kandidat dari segi popularitas serta eletabilitasnya. Namun harus memperhatikan riwayat kandidat itu sendiri.

“Parpol juga harus melihat bagaimana calon yang akan diusung. Harusnya parpol itu juga melakukan seleksi yang ketat dengan paslon yang akan diusung, dan tidak terjerat dengan aturan PKPU itu,” paparnya. (suryadi/rakyat sulsel/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan