Ini Bahayanya Jika Jenderal Aktif Terjun ke Dunia Politik

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Situasi politik saat ini seperti kembali ke era Dwifungsi ABRI. Hal itu dikatakan Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago. Dia memaparkan Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebut bahwa militer memiliki dua tugas.
Yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. "Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan," katanya melalui pesan singkat kepada JawaPos.com, Sabtu (6/1).
Sejak reformasi, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer ditarik kembali ke barak. Di dalam UU 34 Tahun 2014, sangat jelas menyebutkan bahwa TNI tidak boleh terjun ke ranah politik praktis sebagai konsekuensi tentara profesional.
"Politiknya tentara itu yaitu Dwifungsi ABRI itu sendiri, mereka bisa berpolitik praktis itu sebuah fakta dan sejarah," sebut Pangi.
Namun kini, beberapa jenderal aktif baik dari TNI maupun Polri kembali ingin terjun ke ranah politik melalui Pilkada Serentak 2018. Memang, demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi.
Sah saja menurutnya jika para jenderal itu sudah pensiun. Sebab, mereka adalah warga negara biasa dan punya hak memilih dan dipilih. "Namun yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif," tegas Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting itu.
Pangi menjelaskan, mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon. Namun, tampak sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan mencuri start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit.
"Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan," tegasnya.
Memang terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Selain Orde Baru dengan Dwifungsi ABRI, juga sempat terjadi di era demokrasi terpimpin dengan segi tiga emas kekuatan politik.
Yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang yaitu angkatan darat.
Sejak itu, lanjut Pangi, militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar, tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal.
Karenanya, dia meminta agar partai politik tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu TNI, Polri, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis. "Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main," imbaunya.
TNI/Polri maupun aparatur sipil negara (ASN) katanya harus tetap menjaga netralitas. Bagaimana pun, ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik menurut dia patut dicurigai.
"Sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik, dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik," pungkas Pangi. (Fajar/JPC)