Sebatang Kara, Tunanetra, Tak Dibantu karena Tak Ber-KTP

  • Bagikan
DADONG SUKRANIS, TETAP SEMANGAT BEKERJA DENGAN MENJUAL POROSAN. (Foto: JPG)
“Sewai-wai geginan tiange tuah ngae porosan. Porosan adep tiang ke anake meli. Biasane mai alihe nyemak porosan. Yening bahane abaange mriki. Kudiang ten ngidaang ningalin. (Setiap hari saya buat porosan.Porosan dijual sama pengepul. Pengupulnya sendiri yang datang ke rumah. Bahan-bahan untuk buat porosan juga dipesan sama tetangga biar dibawakan ke rumah. Saya tidak bisa jalan jauh-jauh dari rumah. Tidak bisa melihat. Tapi kalau cuma ke kamar mandi ya bisa, sudah hafal,” ungkap Dadong Sukranis saat ditemui di kediamannya, pada Jumat (2/3). Dalam sehari, Dadong Sukranis hanya mampu mendapat uang dari hasil menjual porosan tak lebih dari Rp 10 ribu. Uang itulah yang ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dadong Sukranis menuturkan sebenarnya dirinya memiliki lima orang saudara. Namun mereka seluruhnya telah berkeluarga dan hidup terpisah. Dadong Sukranis pun memahami kondisi keluarganya yang juga serba berkecukupan. Sehingga ia memilih dan merasa nyaman untuk tinggal seorang diri di gubuk tersebut. Meski demikian, rupanya banyak yang simpati dengan kondisi kehidupan Dadong Sukranis yang hidup sebatang kara. Warga sekitar kadang bergantian membawakan makanan untuk nenek malang tersebut. Bahkan, jika waktu sudah malam, dan lampu di rumah Dadong Sukranis belum menyala, tetangganya akan datang, sekedar untuk menyalakan lampu di rumahnya. “Tiang ten taen nganten. Nu adenan tiang hidup pedidian, pang sing ngerepotin anak len.Nyaman tiange sai mai, di kenkene ngabe dedaran. (Saya memang tidak menikah. Lebih nyaman tinggal sendiri. Tidak mau merepotkan siapa-siapa. Tapi saudara saya sering ke sini, bawa makanan. Kadang dibawakan tetangga juga) “ akunya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan