Akan tetapi, jika kesalahannya karena atas pemberian resep obat tersebut berakibat fatal hingga jatuhnya korban jiwa, maka pantas jika dihukum berat.
Perawat Tanpa SIIP Divonis 3 Bulan Penjara

FAJAR.CO.ID, BANYUWANGI - Harsono Eko Saputro, S. Kep. Ns Bin H. Akso,29, perawat asal Dusun Sumberasri, Desa/ Kecamatan Songgon, Banyuwangi, Jatim, divonis tiga bulan penjara. Kasus ini mendapat perhatian banyak kalangan.
Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi, dokter Widji Lestariono mengatakan, setiap perawat yang hendak melakukan praktik mandiri maupun praktik di fasilitas kesehatan (faskes) wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP).
Menurut, Rio panggilan akrab Dokter Widji Lestariono, setiap perawat yang praktik wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP), dan SIPP wajib dimiliki oleh yang bersangkutan untuk bekerja baik di faskes maupun di praktik mandiri di rumah (pribadi).
Perawat yang hendak menjalankan profesinya sebagai perawat atau dengan kata lain akan menjalankan praktik keperawatan juga diwajibkan untuk memiliki STR (Surat Tanda Registrasi). STR tersebut diberikan oleh Konsil Keperawatan.
Dengan sudah adanya landasan hukum berupa Undang-Undang Keperawatan, maka perawat-perawat yang terjun ke dalam masyarakat harus benar-benar perawat yang berkompetensi dan diakui oleh negara, yakni yang telah mendapatkan izin dalam bentuk STR.
Sementara bagi perawat yang hendak membuka praktik keperawatan mandiri, wajib bagi mereka untuk memiliki izin berupa SIPP (Surat Izin Praktik Perawat).
SIPP diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat perawat menjalankan praktiknya.
Sementara untuk pemberian obat, jelas Rio ada beberapa golongan, seperti obat bebas atau yang bisa dibeli sendiri di toko obat, warung dan dijual bebas. Tapi juga ada obat yang harus dengan resep dokter.
“Obat-obat yang harus dengan resep dokter, tidak boleh diberikan oleh perawat. Perawat boleh memberikan obat bebas atau meneruskan resep dokter dengan pendelegasian,” terang Rio.
Rio mencontohkan, jika seorang perawat bekerja di faskes misal di puskesmas pembantu (pustu), dan sudah ada sistem pendelegasian kewenangan dari dokter puskesmas maka itu diperbolehkan.
“Jika sudah ada pendelegasian kepada perawat itu tidak apa-apa. Tapi jika dilakukan di rumah praktik pribadi itu lain persoalan,” jelas Rio.
Sementara itu, praktisi hukum Universitas Bakti Indonesia (UBI) Banyuwangi, Bomba Sugiarto SH mengatakan, apa yang dilakukan Harsono Eko Saputro harus juga dilihat dari aspek lain. Yakni apakah yang bersangkutan dibutuhkan aatu tidak di masyarakat.
“Karena keberadaan perawat di pedesaan tentu dibutuhkan oleh masyarakat. Jika semua ditangkap, lantas siapa yang melakukan pertolongan keperawatan di kawasan pedesaan yang tidak ada keberadaan dokter,” ujarnya.
Yang juga patut dikritisi, lanjut Bomba, Harsono Eko Saputro ditangkap oleh anggota kepolisian yang berpura-pura menjadi pasien.
“Ini menarik, jika mantri desa atau perawat ditangkap, lantas siapa yang diuntungkan? Jika dimensinya murni melakukan pertolongan, kenapa harus dituntut dan dihukum?” terangnya.