Pilkada Kota Makassar Tak Sehat, GIB Minta KPU, Bawaslu dan Polri Turun Tangan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan Polri diminta turun langsung untuk memantau proses demokrasi pada Pemilihan Walikota Makassar, Sulawesi Selatan.
Kota Makassar juga salah satu daerah yang ikut dalam Pilkada serentak 2018. Disinyalir, ada hal yang tak wajar terjadi di pemilihan Walikota Makassar ini, hingga KPU, Bawaslu dan Polri diminta turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Permintaan ini disampaikan inisiator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) untuk Pemilu Bersih Adhie M Massardi kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/4).
Menurut Adhie, secara umum pilkada serentak 2018 yang digelar di 171 lokasi (17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota) ini memang berlangsung biasa-biasa saja. Tidak melahirkan pertarungan gagasan tokoh-tokoh lokal fenomenal yang akan mengangkat nasib, harkat dan martabat rakyat di daerahnya.
“Tapi khusus pilkada di (kota) Makasar, ada proses tidak wajar yang berlangsung secara terbuka, dan tidak mendapat perhatian secara nasional sehingga dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita,” katanya.
Proses yang tidak wajar itu, menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, dimulai dari hengkangnya semua parpol pendukung salah satu paslon (Danny Pomanto- Indira Mulyasari) yang dilarikan ke paslon lain (Munafri Arifuddin- Rahmatika Dewi) sehingga paslon yang ditinggal semua parpol tersebut harus maju lewat mekanisme perseorangan (independen).
“Dari kasus ini saja, kita bisa menduga ada aliran dana besar untuk membayar (mahar) 10 parpol yang kemudian mendukung pasangan (Munafri Arifuddin- Rahmatika Dewi) yang diketahui publik sebagai menantu pengusaha kondang Aksa Mahmud,” kata Adhie.
Tidak cukup sampai di situ. Adhie juga menengarai ada permainan hukum (kriminalisasi) untuk menghadang paslon (Danny Pomanto- Indira Mulyasari) yang sudah dipreteli dukungan parpolnya.
Adhie mencontohkan masuknya “kasus” pengadaan pohon ketapang dan pembagian smartphone kepada seluruh RT/RW ke ranah hukum, yang dijalankan Danny Pomanto sebagai (petahana) walikota Makasar.
“Ada dua ketidakwajaran dalam kasus tersebut. Pertama, Polda Sulsel tidak mengindahkan instruksi Kapolri yang tidak akan memproses persoalan hukum paslon yang sedang berlaga di medan demokrasi. Apalagi bila yang mengadukan lawannya di pilkada.”
“Kedua, kebijakan yang dijalankan petahana (Danny Pomanto) berdasarkan Perda (peraturan daerah) dan menggunakan APBD (uang negara) belum bisa masuk ke ranah hukum sebelum ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan dinyatakan ada penyimpangan serta merugukan keuangan negara.”
“Kalau ada OTT (operasi tangkap tangan) penyuapan yang berhubungan program pemerintah daerah, lain lagi soalnya,” ungkap Adhie.
Makanya, demi terjaganya proses demokrasi yang baik dan jujur, apa yang terjadi di (kota) Makasar harus mendapat pengawasan secara nasional.
“Makanya, KPU pusat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Kapolri tidak boleh alpa dalam mengawasi proses pilkada di daerah, khususnya di Makasar yang bisa jadi penyimpangannya melibatkan orang-orang kuat di Pusat,” tegas Adhie. (Aiy/Fajar)