Perempuan Terlibat Dalam Korupsi, HMI: Ini Menjadi Fenomena Serius

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Kasus korupsi akhir-akhir ini menjadi tontonan menarik bagi publik Indonesia. Tak sedikit pejabat negara, baik tingkat desa, kabupaten hingga pusat sering menghiasi layar kaca televisi akibat melakukan korupsi.
Awalnya, tindakan korupsi identik dengan laki-laki karena dari sekian tersangka korupsi, terbanyak dilakukan oleh kaum adam. Namun, tindakan korupsi tak lagi digeluti oleh kaum Adam, tapi perempuan juga mulai menjadi bagian dari tindakan tidak terpuji itu.
Terbaru, politisi Partai Golkar Eni Saragih harus di tahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat dalam kasus suap PLTU Riau. Eni ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka atas kasus yang merugikan negara miliaran rupiah itu. Tertangkapnya Eni Saragih dan beberapa perempuan yang menjadi tersangka korupsi, membuka mata publik bahwa tindakan tersebut tidak ada hubungannya dengan gender.
Praktisi Hukum, Dayanto menjelaskan, tindakan korupsi tidak bisa disematkan ke satu pihak, tetapi sikap tersebut mampu dilakukan oleh semua orang, baik itu perempuan, laki-laki, tua maupun muda. "Tindakan korupsi tidak ada hubungannya dengan gender, karena laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk melakukan korupsi," kata Dayanto di diskusi publik bersama Kohati PB HMI Bidang Teknologi Dan Informasi dengan tema 'Perempuan Anti Korupsi', Kamis (30/8).
Dikatakan Dayanto, tindakan korupsi saat ini dilakukan sangat rapih dan sistematik, hingga menyulitkan aparat penegak hukum mengetahui tindakan tersebut, hingga berdampak pada tatanan hidup berbangsa dan bernegara. "Korupsi berdampak sistemik terhadap tatanan hidup berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Bersamaan dengan itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU-RI) Evi Novida Ginting menuturkan, salah satu cara untuk mecegah terjadi korupsi di bangsa ini adalah meningkatkan peran perempuan. "Dari segi regulasi, KPU merumuskan kebijakan melalui PKPU no 20 tahun 2018 yang mana tidak memperbolehkan mantan tindak pidana korupsi, tindak pidana pelecehan seksual, dan pengguna narkoba untuk mencalonkan diri sebagai calon legislative. Harus ada upaya mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu," ucap Novida.
Sementara itu, Ketua Bidang Teknologi dan Informasi Kohati PB-HMI, Lisha Arief Hanubun mengatakan, diskusi ini berangkat dari realitas bahwa ada perubahan peran perempuan secara signifikan dalam hal tindak pidana korupsi. Perempuan yang awalnya menjadi korban, saat ini malah menjadi terlibat dalam praktek-praktek korupsi di tanah air.
"Ini menjadi fenomena serius yang harus dikaji dan dianalisis oleh lembaga-lembaga pemberdayaa perempuan seperti Kohati, sehingga dapat melahirkan rencana-rencana strategis untuk mengembalikan peran sentral perempuan dalam pencegahan korupsi," jelasnya. (Aiy/Fajar)