Rasa Takut Lebih Kuat Dari Rasa Lapar, Begini Cerita Korban Gempa dan Tsunami Sulteng

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Salah seorang korban gempa dan tsunami di Palu Sulawesi Tengah, Ratih mengaku sangat bersyukur bisa selamat dari maut. Kini dirinya bersama dengan anaknya sudah tiba di Makassar dengan menaiki KRI 509 yang bersandar di Pelabuhan Soekarno Hatta sekira pukul 13.00 Wita.
Ia mengaku saat gempa, dirinya bersama keluarganya berlari ke gunung Sungge, dan menetap selama tiga hari. Selama tiga hari, mereka dan warga lainnya hanya minum air dan berbagi makanan. Diakuinya rasa lapar tidak terasa, karena diakibatkan rasa takut yang lebih kuat.
"Rasanya allhamdulillah bisa selamat. Karena pas terjadi gempa sudah mulai gelap, baru angin kencang. Pas gempa terbelah tanah dan langsung terdengar suara gemuruh dan air naik,"cerita Ratih dengan mata yang sudah lembab.
Ratih merupakan warga Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Selayar. Ia sudah menetap di Palu selama 10 tahun. Di Palu, ia bekerja sebagai pegawai honorer di SD Min 2 Palu, dan tinggal di Pantoloan.
Ia mengikuti suaminya ke Palu yang bekerja sebagai buruh bangunan."Suami masih di Palu karena lagi bujuk orang tuanya untuk ke Makassar,"lanjut Ratih yang diiringi isak tangis.
Menurutnya, korban tsunami banyak berjatuhan diakibatkan alat pendeteksi tsunami yang dipasang dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, warga tidak mengetahui saat akan terjadinya tsunami.
Ratih merupakan salah satu dari 1.609 korban gempa dan tsunami di Palu yang tiba di Makassar. Selain itu, sebanyak 9 korban yang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Sementara korban lainnya yang belum menemukan keluarganya akan ditampung di Asrama Haji Sudiang.(sul/fajar)