Ongkos Demokrasi Makin Mahal, MPR Soroti Kualitas Pemimpin

FAJAR.CO.ID, YOGYAKARTA - Wakil Ketua MPR Mahyudin menilai, biaya berdemokrasi di Indonesia saat ini sudah terlalu mahal dan kurang efektif. Kondisi ini tentunya makin jauh dari nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan proses musyawarah mufakat.
"Ini artinya sistem demokrasi langsung yang kita jalani saat ini tidak berlangsung efektif ketika masyarakatnya masih banyak yang miskin," ujar Mahyudin di Yogyakarta, Jumat (19/10).
Menurut Mahyudin, saat ini ongkos demokrasi di Indonesia masih terbilang mahal. Kondisi ini berdampak langsung kepada kualitas para pemimpin yang terpilih. Karena situasi ini memungkinkan orang-orang yang punya integritas dan kapasitas, tetapi tidak punya uang menjadi tak terpilih.
"Karena masyarakat masih butuh sekali dengan uang. Karena itu saya setuju kalau demokrasi kita itu diamandemen lagi agar betul-betul kembali kepada demokrasi Pancasila," tegasnya.
Bahkan sejak reformasi bergulir, kata Mahyudin, efek dari demokrasi yang mahal juga menjerumuskan beberapa kepala daerah mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Anggota DPR. Karena dengan pemilihan secara langsung, para calon ini harus menyediakan ongkos yang tidak sedikit.
"Ini pengalaman saya juga. Ketika saya dianggap mampu menjadi Gubernur, saya itu berpikir panjang. Pertama setelah saya hitung-hitung itu biayanya tidak sedikit, untuk bayar saksi, baliho sampai pemilihan itu hampir Rp 50 miliar lebih. Saya mikir juga duitnya dari mana," tanya Mahyudin.
"Karena saya itu pebisnis, seandainya saya punya Rp 50 miliar ketimbang nyalon Gubernur ya mending saya belikan kebun sawit hasilnya jelas," candanya.