Eka Tjipta

Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas.
Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.
Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. "Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana cukup," katanya mengenang.
Sampai-sampai guru menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah. "Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak," bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.
"Tidak bisa. Ampun," teriak Eka.
"Nah begitu juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik," ujar sang guru. Seperti yang diceritakan Eka.
Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.
Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.
Setamat SD Eka mendatangi grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah biskuitnya laku.
Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih anak-anak.
Eka lantas menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit.
Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan penuh.