Eka Tjipta

  • Bagikan
Eka lantas bisa membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng. Omsetnya baru naik ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa 18 kaleng. Eka membayar tulang becak. Lima gulden sebulan. Dalam empat tahun ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden. Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden. Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng. Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong. Sambil mencari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak akan bisa diterima bank. Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang menang tender. Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa dikerjakan. Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari. Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang-barang dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya. Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan