Eka Tjipta

Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan open kiosk di dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.
Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi.
Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.
Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. "Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang," guraunya.
Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis.
Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan yang menggunung itu.
Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.
Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi.
Persoalannya: harga terigu bekas harganya murah.
Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru.
Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.
Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup.