Eka Tjipta

Lalu ia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan. Kuburan Tionghoa.
Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri 'saham' 20 persen. Hasilnya menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. "Bagian depan makam dekat bandara Makassar itu saya semua yang bangun," katanya.
Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.
Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000. Stock rongsokannya pun habis.
Eka lantas ingin bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng: Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh untuk ke sana.
Ia pun berangkat. Semua tabungan dibawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli secara utang. Harus kontan.
Di Selayar ia bisa kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena membayar kontan.
Ia mabuk.
Tidak mampu berdiri.
Pun waktu kapal sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama. Sebelum bisa berjalan tegak. "Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali," katanya.
Baru beberapa hari di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp 1,5/liter.
Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya.
Masih muda sudah merasakan 'jatuh' dua kali.