Eka Tjipta

Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi sulit mendapatkan roti. Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti.
Hari itu ia sangat ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah.
Tetap tidak diberi. Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya.
Ia ngeloyor pulang. Hatinya mendidih. Dendam. Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti.
Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh untuk istrinya. "Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya," katanya bergurau.
Langsung ia tawarkan gaji dua kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu.
Eka tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar gaji yang sebulan itu.
Pabrik rotinya maju.
Tapi sulit mendapatkan gula.
Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg.
Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari.
Eka menjadi kaya kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.
Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.
Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.