Cak Imin Akui Simbol Ke-Islaman Ikut Mendongkrak Kandidat Jelang Pemilu

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Jelang Pemilu 2019, tensi politik makin memanas antara kandidat dan para tim sukses. Hal ini terlihat dengan munculnya politik identitas serta simbol-simbol ke Islaman, dan itu sengaja diekspos oleh kedua kandidat. Wakil Ketua MPR-RI Muhaimin Iskandar menyarankan, untuk memanilisir terjadinya politik identitas perlu adanya diskusi-diskusi tentang ke Islaman yang di gagas Islam Nusantara Center (INC). "Saat ini, jelang pemilu April 2019, kajian seputar Islam dan NKRI, menemukan momentum yang sangat tepat. Apalagi, gerakan ke Islaman dan simbol-simbolnya turut terdongkrak selama tahun politik ini", kata Muhaimin Iskandar dalam diskusi yang diselenggarakan Islam Nusantara Center di rumah dinas Wakil Ketua MPR, kompleks Widya Chandra, Jumat (15/2). Dua orang narasumber ikut menyampaikan pemikirannya untuk membahas tema Jejak Politik Santri Menyatukan Negeri. Keduanya adalah, sejarawan Zainul Milal Bizawie atau Gus Milal dan Ahmad Ginandjar Sya'ban direktur Islam Nusantara Center (INC). Sayangnya menurut Muhaimin yang juga panglima santri, keberadaan Islam Nusantara sendiri belum sepenuhnya diterima di seluruh Indonesia. Bahkan masih ada beberapa daerah yang menolak kehadiran Islam Nusantara. Antara lain, Sumatera Barat dan Riau. "Ini adalah tantangan bagi Islam Nusantara agar bisa mengembangkan sayap dan bisa diterima semua kelompok masyarakat dengan damai. Apalagi, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sudah semakin kecil", kata Muhaimin menambahkan. Dinamika ke Islaman yang terjadi pada tahun politik, ini kata Muhaimin masih cukup kondusif. Asalkan, tidak terjadi pendangkalan dan kekeringan politik. Dalam hal ini tidak takut kalah dan tidak takut menang. Kedua belah pihak, baik yang menang atau kalah, harus mampu menahan diri agar tidak menimbulkan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara. Sementara itu, Ahmad Ginandjar Sya'ban dalam uraiannya antara lain menyatakan, jauh sebelum lahirnya Budi Utomo, para ulama, sudah mempersatukan bangsa Indonesia, melalui syiar Islam. Bahkan beberapa ulama sempat menjadi tokoh di luar daerahnya, sehingga menimbulkan ikatan kebatinan antara daerah asal dan daerah tujuan. Karena itu, saat gagasan Budi Utomo muncul, perbedaan yang ada demikian Mudha dipersatukan. "Kalau tidak didahului oleh kiprah para ulama, tentu ada banyak perbedaan yang muncul saat berdirinya Budi utomo, dan itu akan menyebabkan kesulitan tersendiri," kata Ahmad Ginandjar menambahkan. (***)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan