Ahli Hukum Pidana Pastikan Sadapan KPK Batal Secara Hukum

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian terdesak. Alat bukti rekaman yang dibeberkan di persidangan, legalitasnya dipertanyakan. Tidak memiliki dasar hukum. Belum lagi dengan keaslian rekaman yang diduga suara percakapan Lucas juga sulit dibuktikan.
Saksi ahli kembali mempertegas hal itu pada lanjutan kasus perintangan penyidikan dengan terdakwa Lucas, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 21 Februari 2019. Menurut ahli hukum dan pidana, Muzakkir, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka atau terdakwa, maka hasil penyadapan atau rekaman itu sudah harus memiliki produk hukum. "Jadi harus ada (rekaman) sebagai produk hukum. Itu menjadi dasar sebagai alat bukti. Kalau tidak berarti prosedur rekaman itu tidak sah," ujarnya kepada media usai menjadi saksi ahli.
Guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) itu juga menegaskan, aspek legalitas penyadapan dipertanyakan jika perekaman itu terjadi terjadi bertahun-tahun atau berbulan-bulan jauh sebelum penetapan terdakwa. "Jadi oleh sebab itu, setiap orang warga negara Indonesia tidak boleh ditongkrongi oleh rekaman yang berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jelasnya, tidak boleh tindakan penyadapan mencari-cari kesalahan orang selama berbulan-bulan. Perkaranya harus ada dulu, baru ada pengumpulan bukti dari penyadapan," katanya.
Pernyataan Muzakkir itu pun mempertegas lemahnya alat bukti rekaman yang digunakan KPK untuk menjerat Lucas. Pasalnya, rekaman percakapan yang diduga melibatkan Lucas terjadi pada 2016 lalu. Bahkan semakin dipertanyakan, bukti rekaman yang menjerat Lucas sesungguhnya digunakan KPK untuk proses penyidikan Eddy Sindoro. Sementara sprindik terhadap perkara yang menimpa Lucas diterbitkan pada 1 Oktober 2018.