DPR Bantah RUU PKS Disahkan Menjadi UU

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Polemik disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi Undang-Undang (UU) terjawab sudah, setelah Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo membantah tudingan sejumlah pihak, terkait disahkannya RUU PKs tersebut.
"Apanya yang mau disahkan dari RUU PKS ini. Dibahas saja belum," kata Rahayu dalam Diskusi Forum Legislasi "Progres RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)", di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (26/2).
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa RUU PKS diajukan Anggota DPR yang disahkan jadi RUU inisiatif DPR pada tahun 2017. Setelah itu, diajukan ke Bamus dan direkomendasikan dibahas oleh Komisi VIII DPR. "Panitia Kerja (Panjanya) sudah ada, pembahasan belum, baru rapat dengan Panja dari pemerintah dengan leading sektornya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," tegas dia.
Dia akui, betul Panja DPR dan Panja Pemerintah sudah bertemu. Pertemuan menurut Rahayu cuma menghimpun DIM dari DPR dan Pemerintah. Sedangkan dokumen yang saat ini beredar sebetulnya adalah draf awal RUU PKS. DIM saja juga belum dibahas sama sekali.
"Karena posisi RUU PKS masih seperti itu, maka semua masukan masyarakat masih sangat bisa ditampung. Masukan bisa melalui masing-masing fraksi di DPR," tegasnya, sembari menambahkan bahwa pembahasan RUU PKS mungkin berlangsung Mei usai pemilu nanti.
Diisukan Properzinaan
Di acara yang sama, Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Imam Nahei mendorong DPR segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebab menurut Nahei, RUU PKS diharapkan menjadi solusi bagi kekosongan hukum terhadap korban kekerasan seksual.
"Komisi VIII DPR sudah mengagendakan RUU PKS mulai dibahas pada bulan Mei, usai Pemilu. Komnas Perempuan mendorong agar pembahasannya tepat waktu," kata Nahei.
Senada dengan Anggota Komisi VIII DPR RI Rahaya Saraswati Djojohadikusumo, Nahei juga menyatakan kaget beredarnya khabar bahwa DPR akan mensahkan RUU PKS. "Ini yang sesungguhnya perlu kita sayangkan karena RUU ini belum apa-apa. Masih bisa menerima banyak masukan dari masyarakat, termasuk komunitas agama," tegas dia.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan menurut Nahei akan fokus pada beberapa hal yang menjadi perdebatan bahkan penolakan terhadap RUU PKS ini, karena secara substansi sudah banyak yang dibahas oleh teman-teman termasuk di DPR sendiri.
Penolakan masyarakat terhadap RUU PKS ini antara lain menyangkut penggunaan frase "kekerasan" bukan "kejahatan". "Masyarakat yang menolak mengusulkan pakai frase "kejahatan", jangan "kekerasan".
"Kenapa seperti itu? Karena kalau 'kejahatan' itu lebih luas cakupannya sementara kekerasan itu lebih sempit," kata Nahei.
Pertimbangan sebagian masyarakat termasuk Komnas Perempuan menggunakan frase "kekerasan", karena kalau kejahatan itu selalu ada pelaku dan korban yang kemudian pelaku selalu dihukum karena ada pidananya. Sementara dalam RUU PKS ini ujarnya, pelakunya tidak harus dihukum tetapi bisa direhabilitasi, karena bisa jadi dalam kekerasan seksual, baik pelaku yang secara normatif dia sebagai pelaku, hakekatnya adalah korban misalnya, sehingga dia tidak layak untuk dijatuhi hukuman tetapi di rehabilitasi.
"Atas pertimbangan tidak harus dihukum maka kita bisa menggunakan frase 'kekerasan' seksual tidak 'kejahatan', tetapi sepenuhnya diserahkan kepada ahli hukum, apakah menggunakan frase 'kekerasan' atau 'kejahatan'", tegasnya.
Sebetulnya kata Nahei, Komnas Peremnpuan tak terlalu mempermasalah frase "kekerasan" atau "kejahata". Hal yang terpenting adalah substansi dari RUU PKS tidak tercerabut, yaitu melihat kebutuhan korban terhadap akses keadilan dan pemulihan.
Demikian juga halnya dengan isu dalam naskah akademik RUU PKS ini dianggap kebarat-baratan karena menggunakan feminist legal theory. "Kalau melihat teori-teori dalam ilmu penelitian, fenomenologi, sosiologi, dan antropologi, itu semuanya banyak teori barat yang digunakan dalam ruang-ruang akademi kita. Kenapa ketika kita menggunakan feminist legal theory itu dinilai barat, yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama. Saya kira itu tidak fair, karena seungguhnya feminist legal theory itu tujuannya hanya untuk melihat dalam konteks apa sesungguhnya sebuah hukum itu dicanangkan dan dampaknya apa terhadap perempuan secara spesifik. Jadi sesungguhnya feminist legal theory itu untuk melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam konteks hukum," ungkapnya.
Lalu ada pula kelompok menurut Nahei, yang menolak RUU PKS dengan alasan RUU ini dilepaskan dari nilai-nilai agama, karena terlalu mengunggulkan hak individu atau HAM. "Misalnya di dalam naskah akademik RUU PKS dinyatakan perempuan itu punya hak atas tubuhnya sendiri, yang seakan-akan ketika perempuan punya hak atas tubuhnya sendiri, termasuk laki-laki juga punya hak atas tubuhnya sendiri, sehingga sekan-akan Tuhan tak punya akses apapun untuk mengatur tubuh seseorang itu," ujar dia.
"Padahal sesungguhnya hak atas tubuh itu maknanya adalah semua orang punya hak atas tubuhnya untuk dilindungi dari kekerasan oleh siapapun, atas nama apapun. Konteksnya bukan Tuhan tidak boleh mengintervensi tubuh manusia. Tidak begitu, lalu Tuhan tidak bisa mengatur auratnya, tidak boleh misalnya Tuhan mengatur auratnya baik laki-laki maupun perempuan," kata dia.
Maknanya menurut Nahei, otoritas ketubuhan itu adalah semua orang itu punya hak atas tubuhnya untuk dilindungi dengan alasan apapun, sehingga itu sama dengan perbincangan di dalam ilmu fiqih. "Jadi pembahasan tentang otoritas ketumbuhan itu tidak menafikan nilai-nilai agama, tidak menafikan peran Tuhan untuk mengatur tubuh manusia. Otoritas ketumbuhan itu hanya untuk menegaskan bahwa semua orang itu punya hak atas tubuhnya sendiri dari kekerasan dari siapapun oleh siapapun," tegasnya.
Selain itu kata Nahei, ada lagi isu yang berkali-kali diulang-ulang oleh kelompok yang menolak, bawah RUU PKS pro-perzinaan, pro-LGBT, dan pro-Aborsi.
"Dalam menyiapkan draf RUU PKS ini, Komnas Perempuan berkali-kali membantu DPR serta melibatkan banyak tokoh-tokoh agama, ada NU, PBNU, Muhammadiayah dan serta tokoh masyarakat lain yang ada dalam perumusan ini, sehingga kalau ini dianggap pro terhadap perzinaan, LGBT dan aborsi, saya kira tidak seperti itu. Justru sesungguhnya RUU ini menggali nilai-nilai agama, nilai-nilai moralitas dari masyarakat untuk melindungi kekerasan seksual," pungkasnya. (RBA/Fajar)