Menanamkan Karakter Melalui Literasi Budaya; Four Magic Words

Oleh: Inayah Natsir
(Alumni PAI UIN Alauddin Makassar 2015, Guru di SIT Nurul Fikri Makassar)
"Guru yang baik itu ibarat lilin. Ia rela membakar dirinya sendiri demi menerangi orang lain." (Kalimat bijak)
Ya, kalimat itu benar adanya. Guru adalah manusia yang rela menghabiskan sisa waktu dan usianya untuk mendidik muridnya dengan penuh kesungguhan hati. Tak kenal hujan, tak kenal terik. Tak kenal lelah, tak kenal peluh. Mereka selalu memiliki waktu untuk dijadikan berguna bagi muridnya. Mengajari baca tulis, ilmu pengetahuan, bahkan membentuk karakter yang baik bagi muridnya. Anak muridnya bahkan kadang diberikan hal yang lebih daripada anaknya sendiri. Demi melihat sebuah kebaikan akan tumbuh pada jiwanya.
Maka tak salah bila guru harus mendapatkan perlakuan yang baik, dihormati, dan dihargai. Hal ini sejalan dengan Undang-undang nomor 14 tahun 2015 pada bab II pasal 4 yang menyebutkan bahwa "Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional." Adapun isi dari ayat 1 adalah "(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Beberapa kejadian mengerikan pernah kita dapati tentang perlakuan buruk murid terhadap gurunya. Murid seperti hewan liar yang lepas dari ikatan yang telah lama membelenggunya. Lalu membabi buta berbuat seenak jidat hingga memukul dan mengeluarkan kata-kata kotor. Hal tersebut menandakan bahwa sikap hormat mereka kepada guru dan lingkungannya di sekolah sudah mulai hilang. Padahal guru adalah pengganti orangtua di sekolah yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang baik, dihormati, dan juga dihargai. Pun hal ini berlaku kepada siapa saja, utamanya bagi orang yang lebih tua.