Menjenguk Bu Ani

Saya sendiri bersama istri dan anak wedok saya, Isna Iskan. Setelah 10 menit menunggu kami pun diminta ke atas. Ke lantai delapan.
"Di ujung sana itu," ujar ajudan. Suaranya lirih. Agar tidak berisik di dalam ruang pasien yang memanjang itu.
Saat keluar lift saya memang tampak agak ragu. Lihat sana-sini. Di mana ruangan beliau. Saya pikir dekat lift. Di satu ruang khusus yang istimewa di dekat situ.
Ternyata di ujung koridor sana. Kami harus melewati pasien-pasien lain. Dan meja-meja perawat.
Di dekat ujung itu ada satu ruangan yang diubah fungsi. Jadi ruang tamu. Empat kursi dijajar di dekat dinding kanan. Delapan kursi di dekat dinding kiri.
Satu kursi lagi di ujung tengah. "Oh di situlah nanti Pak SBY duduk," kata saya dalam hati.
Saya pun menempati kursi paling ujung. Dekat kursi Pak SBY yang masih kosong. Istri dan Isna di sebelah saya.
Di kursi seberang duduk wartawati tadi. Dan anggota DPR tadi.
Sejenak kemudian Pak SBY masuk. Beliau melihat ke semua tamu. Lalu berjalan ke arah saya. Saya berdiri. Berjalan ke arah beliau.
Kami bersalaman. Saya cium tangan beliau. Agak lama. Lalu cipika-cipiki. Disertai beberapa ucapan doa. Dan terima kasih.
Begitu juga istri saya. Dan anak saya. Lalu ke deretan kursi depan.
Pak SBY tetap seperti dulu. Sangat menghargai tamu. Siapa pun mereka. Memuji tamu. Mengucapkan terima kasih. Minta doa.
"Sebelum ke ruang ini saya sudah sampaikan ke Ibu Ani siapa saja yang menjenguk sekarang ini. Saya sampaikan nama-nama tamu satu per satu. Beliau senang sekali. Terima kasih. Dan minta doa," ujar beliau.