Damai Di Masa Tenang

Oleh: Andi Haris, Dosen Sosiologi Politik Fisip Unhas
PILPRES 2019 tinggal menunggu hari. Sudah banyak program pembangunan yang disampaikan Capres / Cawapres selama masa kampanye.
Kini, di masa minggu tenang sebaiknya dimanfaatkan untuk lebih konsentrasi pada siapa Capres yang bakal dipilih. Selain itu, juga diharapkan konstituen menghindari segala bentuk perilaku yang terkesan provokatif dan menganggu ketertiban masyarakat.
Tentu kita menginginkan agar Pilpres 2019 berlangsung dalam suasana tertib, aman dan damai. Karena itu, wajar jika pemilih memanfaatkan masa tenang ini untuk berpikir lebih jernih dan rasional dalam membangun kekompakan dan kerja sama guna mewujudkan pemilu damai, sehingga pembangunan disegala bidang bisa terimplementasi sesuai target yang diharapkan.
Sebagai warga pemilih, kita pun patut mengapresiasi kemauan baik para Capres dalam membangun masyarakat karena merupakan sebuah proses politik, pemilu menjadi wadah berlangsungnya perekrutan politik. Hanya saja, untuk merekrut elite politik yang dinilai cakap dan kredibel dalam merealisasikan program pembangunan jelas dibutuhkan adanya seleksi politik yang transparan, teliti dan demokratis. Pasalnya, tugas yang dihadapinya juga amatlah berat seiring dengan kompleksnya kebutuhan rakyat.
Di samping itu, ketatnya kompetisi diantara elite politik dan disatu sisi dan rumitnya kepentingan diantara berbagai elemen masyarakat di sisi lain, sehingga tidak mengherankan kalau kerap kali munculnya benturan antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Fenomena ini bisa diamati dari munculnya beragam bentuk sikap dan perilaku politik masyarakat yang terkesan cukup menganggu nuansa demokrasi kita perhatikan misalnya, ramainya berita yang terkesan hoaks, adanya isu politik uang dan kampanye hitam serta berbagai bentuk pelanggaran lainnya yang berpotensi menimbulkan disintegrasi politik. Belum lagi, beberapa hari terakhir ini muncul pula isu yang terkesan mempertentangkan antara ideologi pancasila dan khilafah yang mana isu ini dikhawatirkan mempertajam pertarungan dua kubuh yang berbeda.
Padahal, di bulan September 2018 telah dideklarasikan kampanye pemilu damai. Pada prinsipnya ingin mewujudkan pemilu yang luber dan jurdil, aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks dan politisasi SARA, bebas politik uang serta aturan main dilaksanakan sesuai UU yang berlaku. Memang perlu diakui jika pemilu yang bebas dari intrik politik memerlukan suatu proses yang amat panjang.
Terlebih lagi, jika biaya politik yng harus ditebus sangat mahal yang implikasinya bisa berupa munculnya ketidakpuasan terutama bagi mereka yang kalah dalam pemilu. Apabila kita belajar dari banyak pemilu disejumlah negara ternyata menunjukakn bahwa konflik politik diantara para kandidat merupakan hal yang biasa.
Yang lebih ironis lagi, jika sulit dicapai rekonsiliasi politik diantara para elite politik terutama yang berasal dari parpol berbeda.
Oleh sebab itu, untuk merealisasikan pemilu yang demokratis dan bermartabat tentu tak ada pilihan lain kecuali membangun kesadaran politik yang tinggi dikalangan kaum pemilu. Ini bisa dicapai lewat sosialisasi politik yang tidak hanya melalui media sosial, organisasi massa, partai politik melainkan juga yang lebih penting ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga.
Dalam hal ini, sosialisasi politik itu dimaksudkan untuk meredam konflik politik, menghindari kekerasan sosial, mentorilir perbedaan kepentingan, suku, agama dan budaya, bersikap rasional dalam menghadapi masalah, tidak bersikap apriori terhadap orang lain mencegah tindakan provokatif dan prasangka, menjaga integrasi nasional serta menjamin kebebasan berkumpul dan berekspresi dalam batas tertentu.
Lalu upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung terciptanya pemilu bermartabat harus mendapat sokongan dan partisipasi luas di kalangan pemilih. Logikanya bagaimana mungkin bisa diwujudkan spektrum politik yang cerah, iklim politik yang kondusif dan perilaku politik demokratis kalau yang sering ditampilkan yaitu munculnya isu yang justru rentan bagi terjadinya pertikaian politik. Yang lebih parah lagi, konflik politik tak hanya menghambat konsilidasi politik tapi juga bisa menganggu proses percepatan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Bayangkan saja, besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam perhelatan pesta demokrasi seperti pemilu, sehingga untuk menyukseskannya sebaiknya pemilih bersikap arif dan bijaksana serta tidak muda terprovokasi pada isu yang bisa saja berdampak pada perpecahan di antara warga masyakarat.
Pendek kata, sekalipun kompetisi politik berlangsung dengan ketat di antara kandidat, namun yang penting untuk tetap dikawal terutama ditingkat masa pendukung yakni selalu memelihara dan menjaga dialog, etika dan komunikasi politik dalam batas lingkup prinsip demokrasi. Sehingga, elite politik yang terpilih memiliki tingkat kepercayaan dan akseptabilias politik dimata publik yang tinggi. Dengan demikian, harapan untuk mewujudkan pemilu bermartabat bisa terealisasi. (*)