Oman Ibadi

  • Bagikan
Oleh Dahlan Iskan FAJAR.CO.ID--Telur burung itu. Ditelurkannya di Madinah. Menetasnya di Basra, Iraq. Setelah besar burungnya terbang ke Oman. Itulah jawaban teman saya di Oman. Ketika saya berkata kepadanya: ajari saya apa itu Ibadi. Aliran keagamaan yang dominan di sana. Istilah telur itu ia kutip dari cerita leluhur. Dari ayah. Dari kakek. Dari buyut. Dari canggah. Dari ubek-ubek suwer. Tentang mengapa penduduk Oman beda dengan negara Arab lainnya. Oman tidak mau ikut aliran Wahabi. Seperti negara-negara Arab tetangganya. Juga tidak mau Syiah. Seperti Iran di seberang selatnya. Bahkan tidak mau mazhab Syafii, Hambali, Maliki, maupun Hanafi. Oman itu negeri Ibadi. Salatnya sama dengan Islam lainnya. Hanya takbiratul ikram-nya tidak pakai angkat tangan. Cukup mengatakan Allahu Akbar. Tangan tidak perlu bersedekap. Cukup lurus ke bawah. Saat duduk terakhir pun tidak perlu menudingkan jari. Salamnya juga agak beda: saat kepala menoleh ke kanan yang diucapkan 'asalamualaikum'. Saat kepala menoleh ke kiri mengucapkan 'warahmatullah'. Namun Ibadi ini tidak memusuhi aliran lain. Sangat moderat. Ibadi memang mendominasi aliran di Oman, tetapi Syiah dibiarkan ada. Demikian juga Wahabi. "Setidaknya ada delapan masjid Syiah di kota Muscat ini," ujar Said Ali Hamed Al Riyani yang mengantar saya ke gedung opera. Hari itu saya memang ingin nonton opera. Kebetulan ada pentas lakon terkenal: Lakmé. Karya komponis klasik Léo Delibes. Yang lahir di Perancis tahun 1836. Hampir 200 tahun yang lalu. Oman ternyata sudah punya gedung opera. Namanya: The Royal Opera House. Interiornya jati terbaik dari Myanmar. Marmernya Italia. Pianonya Jerman: yang raksasa itu. Dengan ribuan pipa suara itu.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan