Pemilu yang Memilukan

  • Bagikan
Oleh: Abdul Gafar, Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar Tinggal menghitung hari, bangsa Indonesia akan menentukan siapa yang akan terpilih dalam pilpres dan pileg periode 2019-2024. Akankah roda pemerintahan di negeri ini akan mengalami perubahan atau tetap ? Waktulah yang akan menjawabnya. Masyarakat sebagai pemegang suara kemenangan sudah memiliki pilihan, jauh sebelum masuk ke bilik suara. Ada pemilih fanatik sejak dulu, ada juga pemilih yang longgar. Bagi pemilh fanatik tidak akan terpengaruh oleh berbagai informasi yang berseliweran di sekitarnya.Pilihannya tidak akan berubah. Istilahnya, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu tenang-tenang saja. Sebaliknya bagi pemilih yang longgar, dalam arti kata ia jeli melihat rekam jejak calon yang didukungnya. Banyak pertimbangan yang dijadikan alasan dalam menentukan pilihannya. Di sini kecerdasan diperlukan dalam menakar pengambilan keputusan. Kesalahan dalam mengambil keputusan di bilik suara dapat dirasakan dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sebagai pemilih dan pemilik suara mesti menggunakan akal sehatnya. Perjalanan waktu menuju pemilu cukup lama melintasi banyak kesempatan yang berguna. Berbagai informasi yang berseliweran baik positif maupun negatif berkejaran memasuki alam sadar kita. Untuk 2 pasangan pilpres dan wakilnya tampaknya lebih banyak menghiasi media massa kita dibanding pileg. Walaupun ada juga pasangan pilpres yang merasa ‘dijauhi’ hiruk pikuk kehebatan media massa. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemilik media massa yang ada. Terlebih lagi jika berafiliasi kepada salah satu pasangan capres. Perjalanan memilih pemimpin negara telah berlangsung beberapa periode. Sebagai warga bangsa yang besar populasinya di dunia, kita menginginkan suasana yang aman dan tentram serta dilandasi kejujuran dan keterbukaan. Jangan sampai dinodai oleh ketamakan untuk berkuasa dengan melakukan cara-cara yang buruk. Pemilu selalu dikaitkan dengan pesta, artinya kita semua merasa aman dan nyaman dengan acara tersebut. Jangan sampai terjadi pesta ini diiringi kondisi ketidaknyamanan akibat tekanan-tekanan tertentu. Pasangan yang berkontestasi berharap bahwa pasangannyalah yang akan memenangi ‘perhelatan akbar’ kali ini. Dari sejumlah safari kampanye pasangan capres sudah terlihat dengan kasat mata. Berbagai spekulasi dilontarkan oleh masing-masing pasangan capres keyakinan akan kemenangan. Berbagai cara dilakukan bersama tim pemenangannya untuk meraih suara pemilih. Apabila kita mengikuti perbincangan di media sosial, betapa ‘riuh’ komentar yang ada. Masing-masing pendukung saling menyerang dengan menggunakan kata kata atau kalimat serta gambar-gambar yang kurang pantas. Masing-masing kehidupam masa lampau pasangan capres diungkap secara vulgar tanpa kendali. Dunia maya kita penuh dengan informasi yang saling menyudutkan dan sekaligus menghakimi. Partisipasi media elektronik dalam hal ini dunia penyiaran menyajikan dialog dan debat yang membuat suasana ‘memanas’. Dua kubu yang menampilkan masing-masing jago debatnya terlihat kemampuannya. Ada yang jago ‘debat kusir’, namun ada juga yang memang terlihat jago dalam berargumentasi. Menuju kursi penguasa tertinggi di negeri ini memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat yang memiliki hak pilih. Makanya, segala taktik dan strategi menarik hati pemilih terus dilancarkan dari masing-masing kontestan. Di negeri ini ada komponen warga bangsa yang wajib bersikap netral. Mereka adalah dari unsur ASN, TNI dan Polri. Mereka tidak boleh menyatakan secara terang- terangan dukungannya dalam pilpres. Kalau TNI dan Polri tidak diberi hak untuk memilih, sedangkan bagi ASN ada haknya. Hanya saja ASN perlu kehati-hatian jangan sampai ikut terseret dalam kampanye terbuka. Walaupun demikian, ternyata ditemukan kasus adanya pengerahan ASN dalam kampanye calon tertentu. Seharusnya tidak ada pengerahan ASN, namun ada tekanan tertentu yang akan diterima jika menolak ikut kampanye. Inilah ‘penyalahgunaan kekuasaan’ yang dipertontonkan di depan masyarakat. Selain pengerahan ikut kampanye, biasanya seorang pejabat melakukan (seolah-olah) pertemuan dinas dengan unsur di bawahnya. Dalam ceramah lalu diarahkan untuk memilih capres tertentu. Selain itu masih diberi kewajiban untuk merekrut sejumlah pemilih yang berada dalam lingkup kekerabatan anak buahnya. Boleh jadi, Instruksi berjenjang mulai dari gubernur hingga RT diberi tanggung jawab agar memenangkan calon tertentu. Bagi orang pemerintahan dengan ringan dapat menekan bawahannya agar satu suara dengan sang bos. Karena takut, maka sang bawahan mengiyakan saja. Walaupun mungkin kata hati mereka tidak sejalan dengan instruksi tersebut. Beberapa waktu lalu pernah ramai diberitakan adanya ciutan mantan Kapolsek tentang perintah memilih calon tertentu dalam pilpres. Sang Kapolsek katanya mendapat perintah Kapolres. Namun tidak lama berselang, sang mantan Kapolsek menarik ucapan yang pernah dilontarkannya. Rupanya sang Kapolsek telah berbohong kepada seluruh rakyat Indonesia. Selain itu telah ‘merusak’ institusi tempatnya mengabdi selama puluhan tahun. Ataukah sang Kapolsek mendapat ‘tekanan’ dari institusinya ? Entahlah. Sikap ksatria telah hilang dari perilaku sang Kapolsek. Mungkin perilaku sang Kapolsek dapat disejajarkan dengan hoaks yang telah dilakukan Ratna Sarumpaet. Artinya, sang Kapolsek mesti dilakukan pemeriksaan seterang-terangnya dan sejelas-jelasnya. Keberpihakan aparat dalam mendukung capres tertentu telah ‘merusak’ prinsip-prinsip benar, adil, jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Ketidakjujuran dalam melaksanakan pemilu akan menghasilkan pemimpin yang buruk. Jika sang pemimpin dimunculkan karena perilaku buruk penyelengara, maka hasilnya tetap akan buruk bagi bangsa dan negara. Pemilu yang demikian akan menyebabkan kepiluan masyarakat dan bangsa secara berkepanjangan. Mari kita jaga agar pemilu berjalan bersih tanpa noda. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan