Ekofeminisme Perempuan dan Bumi

(Refleksi Hari Bumi 2019)
Oleh: Ellyyana Said (Staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, KLHK)
Ekofeminisme adalah salah satu ragam ekosofi yang menguji relasi antara dominasi atas kaum perempuan dan dominasi atas alam.
Ekofeminisme merupakan jembatan yang menghubungkan isu-isu lingkungan dan isu-isu perempuan. Menurut Sachiko Murata, ada relasi yang erat antara perempuan dan bumi, sehingga ia menyebut: "alam sebagai ibu dan istri, sementara rahim perempuan sebagai alam atau bumi."
Munculnya istilah ekofenisme dimulai dari India melalui gerakan Chipko pada tahun 1947. Sebuah peristiwa terjadi saat para perempuan di Kota Reni wilayah Pradesh memeluk erat pohon-pohon yang akan ditebang untuk suatu tujuan kolonial. Sebuah komitmen yang kuat karena mereka menganggap pepohonan itu adalah kehidupan mereka dan warisan leluhur yang harus dilestarikan. Berlatar aksi tersebut kemudian dikenal sebagai Chipko Movement, menyelamatkan ratusan areal hektar hutan yang akan ditebang.
Sebuah pertanyaan yang mengelitik kemudian muncul. Apakah perlu pengelolaan bumi ini diserahkan kembali pada kaum perempuan? Pertanyaan ini muncul karena pengelolaan bumi sejak era revolusi industri telah berubah menjadi pengelolaan yang bersifat patriaki, atau kelaki-lakian.
Betapa tidak, sejak revolusi ini sepertinya eksploitasi terhadap sumber daya alam telah semakin gencar, revolusi yang dimulai dari benua biru Eropa telah menjalar kepada bentuk penaklukan terhadap dunia baru. Suatu keinginan menaklukkan alam dan sumberdaya alamnya dikuras untuk suatu perubahan tatanan sosial ekonomi sebagai konsekuensi logis dari meningkatnya produk-produk konsumsi manusia.