Pilpres di Era ‘Pasca Kebenaran’

Oleh: Hadisaputra (Dosen Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar)
ERA Post-Truth (Pasca - Kebenaran) merupakan iklim sosial politik dimana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Dinamika Pemilhan Presiden (Pilpres) 2019 menunjukkan hadirnya era itu.
Rabu, 17 April 2019, pukul 15.00 WIB, hampir semua stasiun televisi menayangkan hasil Quick Count (Hitung Cepat) Pilpres 2019 yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei. Hampir semua lembaga survei yang ditayangkan televisi saat itu mengunggulkan pasangan Capres-Cawapres, Jokowi - Maruf Amin dibanding Prabowo-Sandiaga.
Sore itu juga, kedua Capres baik Jokowi maupun Prabowo menggelar Konferensi Pers. Jokowi menyampaikan pidato apresiasi atas rilis hitung cepat tersebut, namun juga mengimbau pendukungnya untuk menunggu rilis resmi dari KPU. Sementara, kompetitornya Prabowo pada hari yang sama menggelar dua kali konferensi pers, sore hari dan malam hari. Jumpa pers dilakukan untuk membantah Quick Count dengan argumen Exit Pool dan data real count internal tim.
Keesokan harinya, kedua capres kembali melakukan Konferensi Pers. Jokowi yang pada hari sebelumnya belum memberi komentar soal kemenangannya versi Quick Count, mulai memberi pernyataan kemenangan. Bahkan Jokowi juga sempat mengungkapkan bahwa dirinya juga menerima ucapan selamat dari berbagai kepala negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Turki.
Pada hari kedua setelah pencoblosan ini, Prabowo kembali menggelar Konferensi Pers, masih dengan tema yang sama, mengklaim kemenangan. Bedanya, pada konferensi pers kali ini, Prabowo sudah didampingi Sandiaga Uno, yang pada dua kesempatan sebelumnya tidak hadir di depan publik.
Ketidakhadiran Sandi pada hari sebelumnya menimbulkan desas-desus, bahwa pasangan Capres ini mulai pecah kongsi. Sandiaga disebut dalam rumor tersebut, menolak menggelar deklarasi kemenangan sebelum ada pengumuman resmi KPU. Belakangan isu tersebut dibantah Tim 02, dengan menunjukkan bukti bahwa Sandiaga memang sakit, dan dalam perawatan dokter.
Dalam Mein Kampf, Hitler menulis, ‘teknik propagandis yang paling brilian tidak akan menghasilkan kesuksesan, kecuali satu prinsip fundamental yang selalu diingat- ia harus membatasi dirinya pada beberapa poin dan mengulanginya terus menerus’. Nampaknya Prabowo menggunakan strategi serupa. Mungkin itu pula alasan, keesokan harinya, Jumat 19 April 2019, Prabowo kembali menggelar syukuran, bersama PA 212.
Sebenarnya yang dilakukan Prabowo, manuver politik biasa. Targetnya jelas, mempertahankan semangat juang timnya hingga detik terakhir. Ia harus memastikan agar semua timnya tetap militan mengawal rekapitulasi hingga pengumuman KPU. Ia juga sedang memotivasi para kadernya agar giat mengumpulkan bukti kecurangan.
Jika pun kalah dalam rekapitulasi akhir KPU, bukti kecurangan yang dikumpulkan relawan tersebut akan menjadi senjata gugatan di MK. Bagaimana jika Prabowo kalah lagi di MK? Apakah Prabowo akan menggunakan people power, sebagaimana seruan Amien Rais?
Bagi pendukung fanatik Prabowo, rencana people power akan dimaklumi dengan menggunakan argumentasi, ‘keselamatan negara’ atas cengkraman asing (khususnya Tiongkok). Dalam anggapan mereka, menegakkan kedaulatan bangsa, jauh lebih penting dibandingkan sekadar prosedural demokrasi (Pemilu). Apalagi disinyalir, kemungkinan besar Pilpres akan dimenangkan pihak lawan dengan kekuatan kapital dan penyalahgunaan wewenang kuasa.
Era ‘pasca-kebenaran’
Drama saling klaim kemenangan dalam Pilpres 2019 ini menunjukkan bahwa saat ini kita memasuki era Post-Truth (Pasca Kebenaran). Pemikir Perancis, J.A. Liorente (2017), mengurai bahwa Era ‘Pasca Kebenaran’ merupakan iklim sosial politik dimana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda.
Dalam pandangan Haryatmoko (2019), ada beberapa kebaruan era ‘Pasca Kebenaran’ dibandingkan dengan kebohongan yang sudah lama dipraktikkan dalam politik. Pertama, luasnya akses informasi berkat digitalisasi komunikasi. Kedua, masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media sosial.
Ketiga, demokratisasi media dan jurnalisme warga mengompensasi ketidakpuasan masyarakat terhadap informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik. Keempat, masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas se-ideologi dan memiliki keyakinan yang sama. Hal itu tampak dengan mudahnya orang membuat grup-grup virtual berbasis SARA, seperti Grup Whats App, atau face book.
Kelima, teknologi telah mengacaukan kebenaran, karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika, Keenam, kebenaran tidak lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Orang bahkan tidak lagi menggunakan istilah kebohongan, melainkan bermain semantik: kebenaran altrernatif, fakta alternatif, dan hoax.
Sebagai instrumen persuasi, ‘Pasca Kebenaran’ merupakan bentuk rekayasa informasi agar orang bingung dalam menafsirkan realitas dan skeptis terhadap kebenaran. Selain itu, era ‘Pasca Kebenaran’ merupakan manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Strategi ‘Pasca Kebenaran’ juga menciptakan mitos-mitos politik. Keempat, pembenaran argumen politikus bahwa adanya kerusuhan sebagai konsekuensi logis dari seruan mereka yang tak didengar.
Jika demikian, siapa yang paling lihai memanfaatkan era ‘Pasca Kebenaran’? Apakah Kubu Jokowi dengan dukungan Quick Count lembaga-lembaga survei? Ataukah pihak Prabowo yang mengklaim kemenangan dengan argumen real count internal, disertai militansi pendukungnya di media sosial? Kesimpulan saya serahkan kepada sidang pembaca!