Praktisi Hukum: Bisakah Pilpres Putaran Kedua?

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Tahapan pemungutan suara untuk calon Presiden dan Wakil Presiden telah usai, berbagai isu klaim kemenangan dua pasang calon pun semakin berkembang luas.
Hasil quick count atau hitung cepat untuk sementara diunggulkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Meskipun hasil rekap internal tim Prabowo-Sandi juga mengklaim kemenangan.
Isu pilres putaran kedua pun junga berkembang dan dikeluarkan oleh salah satu pasang calon.
Praktisi hukum Makassar, Sulaiman Syamsuddin pun angkat bicara terkait hal tersebut.
Ia menjelaskan, Pemilu tahun 2019 ini mengacu pada aturan UUD NRI 1945 Pasal 6A jo.
UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu jo. PKPU nomor 3 tahun 3019.
Pasal 159 ayat (1), (2) UU nomor 42 Tahun 2008 adalah persis sama materi muatannya dengan ketentuan pasal 416 ayat (1), (2) UU nomor 7 Tahun 2018 tentang pemilu
Kedua norma UU ini merupakan derivasi dari norma Pasal 6A UUD NRI 1945.
Apakah harus Pilpres Putaran Kedua ? atau langsung menentukan pasangan calon pemenang berdasarkan suara terbanyak tanpa syarat mutlak tersebut?.
"Jadi, jika legal reasoning putusan MK ini dipedomani dan dipertahankan maka terbuka peluang sebuah tirani dalam kehidupan berdemokrasi, berbangsa dan bernegara kita," jelas Sulaiman di Makassar, Senin, 22 April.
Ia menjelaskan, hal itu dikarenakan dari awal didesain politis agar pasangan calon
dalam setiap Pilpres cukup diikuti oleh dua pasang calon, maka pasangan calon cukup memenangkan suara di Pulau Jawa saja maka dialah akan menjadi pemenang.
"Inilah mungkin yang terjadi saat ini terkait perolehan suara salah satu pasangan calon Pilpres 2019, basis perolehan suaranya fokus di 3 Provinsi Pulau Jawa," jelasnya.