Pendidikan di Titik Mati!

Oleh: Abdul Gafar (Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar)
Beberapa waktu lalu, di sebuah lorong rumah sakit terjadi perbincangan serius beberapa orang ibu tentang pendidikan. Penulis berada tidak jauh dari posisi ibu-ibu tersebut. Perbincangan mereka dapat terdengar dengan jelas karena hanya diantarai beberapa orang.
Mereka membahas tentang mirisnya dunia pendidikan tinggi. Saat itu, mereka sering melihat bagaimana ulah mahasiswa Makassar yang selalu berdemo di jalan umum. Ketika mahasiswa turun ke jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan panjang yang melelahkan. Dari dialog itu , mereka menganggap kampus di Makassar tidak ramah bagi kelanjutan studi anak mereka. Mereka lebih memilih di luar Makassar. Mahasiswa dianggap sebagai biang masalah bagi masyarakat.
Hasil menguping pembicaraan tersebut membuat penulis sebagai pengajar di perguruan tinggi merasa ‘tidak enak’. Timbul rasa ‘diremehkan’ oleh pandangan sinis dari ibu-ibu tersebut. Namun, fakta di lapangan berkata ada benarnya pandangan mereka. Memang terkadang mahasiswa menunjukkan jati dirinya yang mengundang sikap antipati dari masyarakat. Sikap ‘menerabas’ tanpa pertimbangan matang dipertontonkan dengan penuh kebanggaan.
ilema dunia pendidikan tidak saja tanggung jawab kaum di perguruan tinggi. Tetapi mencakup semua jenjang pendidikan mulai dari kelas bermain hingga pendidikan lanjutan. Sistem pendidikan nasional telah ditetapkan pada semua level pendidikan. Arah dan sasaran menjadi patokan dalam menyusun kurikulum yang tepat sesuai strata pendidikan yang ada.
Capaian pendidikan tidak menjamin perilaku yang baik dan benar. Penyimpangan dapat terjadi mulai dari tingkat terendah hingga yang strata tertinggi. Fakta menunjukkan kita dapat menyaksikan betapa strata pendidikan tidak menjadi alat kendali yang aman dan menyelamatkan. Di beberapa daerah, kita memeroleh informasi ada kepala sekolah yang tega melakukan tindakan asusila terhadap muridnya. Ada juga siswa yang berperilaku ‘keterlaluan’ terhadap guru mereka.
Guru diejek hingga dianiaya oleh siswa. Ada seorang siswa tewas akibat dikeroyok oleh sekelompok siswa sekolah lainnya. Kasus masih berlanjut tanpa kesimpulan akhir. Dekadensi moral siswa sekolah lanjutan menjadi ancaman serius bagi dunia pendidikan. Siapa yang salah hingga semua itu dapat terjadi?
Penulis pernah membimbing seorang mahasiswa yang meneliti tentang aktivitas siswi SMA yang berprofesi sebagai wanita Pekerja Seks Komersial. Paginya mereka ke sekolah, sepulangnya, mulailah profesinya dilakoni. Kerja ganda menggapai kepuasan materil dan seksual.
Latar belakang sosial ekonomi dari pelaku seks komersial siswi SMA bervariasi. Termasuk motivasi mereka melakukan profesi gandanya. Ada yang memang sengaja untuk mencari kepuasan materi agar terlihat mewah di antara teman-temannya. Ada juga karena terdorong mencari kepuasaan seks tanpa perlu imbalan duit, yang penting boleh makan mewah di tempat yang berkelas. Yang tragis adalah karena ingin balas dendam akibat trauma masa lalu yang buruk.
Dunia prostitusi juga melanda mereka yang berstatus mahasiswa. Tentu saja kelas mereka berbeda dengan strata lainnya. Istilah yang dikenal di kalangan mahasiswa adalah ‘ayam kampus’. Jam kerja mereka lebih fleksibel tergantung pelanggan. Tarif kencan dan plus-plusnya sangat ketat. Bahkan boleh mendampingi hingga ke tempat lain untuk berhari-hari.
Penulis juga pernah menguji seorang mahasiswa yang meneliti tentang mahasiswi yang berprofesi sebagai ‘ayam kampus’ pada beberapa perguruan tinggi di Makassar. Dua mahasiswa yang teruji di atas melakukan pendekatan dari segi komunikasi antar pribadi dan kelompok.
Sekolah ataupun kampus adalah tempat mendidik manusia agar menjadi terangkat derajatnya. Manusia terdidik, idealnya berperilaku baik. Tetapi realitasnya terkadang bertolak belakang dengan capaian pendidikan yang telah direngkuhnya. Semakin tinggi pendidikannya, semakin cerdik pula tingkat kemampuannya dalam memainkan peran yang ‘tidak benar’.
Pendidikan yang diperoleh tidak menjadi alat yang menyelamatkan dirinya dari perbuatan tercela. Justru dijadikan sebagai senjata membela diri dalam mempertahankan ketidakbenaran.
Tema Hari Pendidikan Nasional kali ini adalah “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”. Berangkat dari tema ini menunjukkan bahwa adanya pelemahan di bidang pendidikan sehingga perlu dikuatkan. Tentu ada bukti-bukti empiris melihat dunia pendidikan kita mengalami degradasi dalam beberapa hal. Makanya tema kali ini menetapkan kata menguatkan untuk menutupi kelemahan yang terjadi. Kita juga tetap optimis bahwa ada juga kemajuan yang telah dicapai lewat prestasi-prestasi yang ada. Ini kenyataan yang tidak dapat dibantah.
Perilaku berbudaya kita pun tersorot ke dalam lembah keterpurukan. Budaya bangsa yang luhur seperti ‘saling menghargai’, ‘saling memanusiakan’, ‘saling mengingatkan’ mulai tergerus oleh kepentingan masing-masing.
Hari-hari ini kita jalani kehidupan dalam tensi yang keras dan menegangkan. Satu sama lain tidak melihat sebagai satu rumpun bangsa yang besar, melainkan sebagai musuh yang harus ‘dibinasakan’.
Saling ejek, saling caci, saling hujat merupakan santapan sehari –hari yang kita lewati. Manusia telah dilabel sebagai binatang. Derajat kemanusiaan terpuruk jatuh dalam kenistaan yang diciptakan secara bersama.
Kebudayaan kita kembali mundur ke zaman primitif. Bukan sebaliknya siap menghadapi tantangan hidup yang semakin berat. Di negeri ini, kita hidup dalam 3 zaman yang bersamaan. Ada wilayah yang masih hidup dalam zaman primitif, ada yang sudah lebih maju, dan bahkan ada yang super maju. Ketiga zaman ini hidup dan berkembang pada wilayah masing-masing di negeri yang luas terbentang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, tetapi tidak dinikmati.
Adakah pendidikan yang mencerahkan kita ataukah sudah berada di titik mati? Zaman yang menjawabnya dengan tegas. Kita akan berada di mana dan hendak ke mana! (*)