Rencana Amaliyah Pesta Syirik Akbar, Hoaks, dan Masyarakat yang Terbelah

  • Bagikan
Irjen Pol Drs H Hamidin. (dok)
Oleh: Irjen Pol Hamidin (Kapolda Sulsel) Selama bulan Mei 2019 saja Densus 88 telah menangkap 31 pelaku yang diduga kuat merupakan bagian dari jejaring teroris. Bila dihitung dengan lebih cermat maka yang sudah ditangkap sejak Januari 2019 sebanyak 70 tersangka yang berasal dari jejaring Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Lampung, JAD Bekasi, JAD Jawa Tengah, JAD Sibolga, dan jaringan Fikih Abu Hamzah. Di bulan Mei, disela pengamanan pemilu, justru penangkapan paling banyak dan masif. Ditemukan ada beberapa pelaku yang terkait rencana serangan saat pemilu. Perasaan anak bangsa yang kian miris Kejadian penangkapan beberapa teroris yang telah siap dengan bom yang siap diledakan di depan KPU dan Bawaslu Pasca penghitungan suara hasil pileg dan Pilpres 2019 adalah salah satu contoh kasus di mana teroris kali ini nyata ikut mengambil peran. Situasi yang sama yang membuat masyarakat bertanya-tanya lagi tatkala media ramai memberitakan tertangkapnya seorang pensiunan mantan pimpinan pasukan elite TNI atas kasus penyelundupan senjata. Ramai diberitakan di media meanstream dan media sosial bahwa keberadaan senjata senjata itu akan mengganggu proses keputusan KPU. Tidak main-main testimoni sang pensiunan yang sudah viral sebelum sang pensiunan ditangkap. Rangkaian kasus tersebut tentu membuat perasaan kita sebagai anak bangsa yang cinta akan bangsa ini menjadi semakin miris. Pertanyaannya kemanakah sikap patriotisme itu? Penangkapan yang lebih mengejutkan lagi ternyata ditemukan link bahwa pemilu 2019 telah dimanfaatkan oleh jejaring teroris. Mereka ingin mencuri momen yang terungkap dari tertangkapnya seorang teroris bernama Mukhamad Ansyurulloh. Ia ditangkap karena membuat dan mengirim pesan berantai (broatchasting) yang berisi ajakan untuk mengebom gedung Bareskrim Polri, sekaligus melakukan asasinasi terhadap Kapolri Jenderal, Tito Karnavian dan Kabareskrim Komjen, Idham Azis. Sampai saat ini kasus ini sedang diselidiki kemungkinan siapa yang menggerakan dan intellectual dader-nya. Ancaman itu nyata ada Ada dua situasi yang sungguh sangat berbeda antara kasus Penistaan agama oleh Gubernur Ahok yang berbuah penjara, dan diikuti Pilgub DKI yang akhirnya memenangkan Anis Bawesdan, dan yang kekinian adalah Pemilihan umum Presiden dan wakil presiden tahun 2019. Dua perbedaan tersebut antara lain: Pertama, saat Pemilihan gubernur DKI dan lengsernya Ahok beberapa tahun lalu. Demo dan unjuk rasa skala besar kala itu secara simultan terjadi. Pergerakan dimotori oleh berbagai elemen dan ormas agamis. Mereka tumpah ruah di area tugu Monas. Dalam suasana riuh seperti itu penulis mencoba membuat catatan-catatan guna kecil mencari hubungan tentang adakah peran terorisme dalam pesta demokrasi saat itu (Pilgub DKI). Jujur saat itu penulis sulit mendapatkan referensi yang signifikan. Penulis kemudian mencari tahu dengan berdialog kepada beberapa mantan napi teroris dari lintas generasi. Termasuk diantaranya dialog dengan napi di dalam lembaga pemasyarakatan yang sedang menjalani hukuman. Pertanyaan yang timbul saat itu; Apakah ada kemungkinan kelompok teroris akan melakukan Amaliyah penyerangan atau pengeboman dalam rangka mendukung demo untuk melengserkan Ahok yang dianggap telah menodai agama itu? Penulis ternganga - ternyata hampir semua mereka target dialog mengatakan "tidak perlu". Bagi kelompok teroris radikalist agama pro kekerasan pada umumnya melakukan amaliyah teror bom dalam kaitannya dengan pemilu itu dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia mubazir. Karena kasus pidana Ahok sejatinya terkait thema "lengserkan Ahok." Dan disusul oleh Pemilihan gubernur DKI. Pemilihan Gubernur sendiri adalah bagian dari proses demokrasi Indonesia. Demokrasinya yang seperti apa? Ya - Demokrasi Pancasila. Bagi kelompok radikalis agama pro kekerasan atau teroris demokrasi itu adalah murni Syirik - bahkan lebih, dia adalah "Syirik Akbar". Dalam chating group messenger, mereka menegaskan pemilihan gubernur itu adalah bagian dari proses demokrasi. Pemilihan pemimpin ala Indonesia adalah pemilihan versi Pancasila yang dilambangkan dengan garuda pancasila, yang dalam chating, mereka katakan sebagai "Burung gepeng". Mayoritas yang penulis kunjungi dan berdialog semua menegaskan tidak mungkin ada ikhwan mau melakukan Amaliyah pengeboman. Alasannya sederhana karena tidak sejalan dengan perjuangan daulah mereka. Begitupun tanggapan serupa datang dari beberapa orang mantan nara pidana teroris yang penulis undang berbuka puasa bersama di rumah jabatan beberapa hari yang lalu. Sebagian besar meyakini bahwa teroris tidak bermain di ranah pemilu. Ibarat ikan itu bukan kolamnya. Kedua; masih dalam konteks "Syirik akbar", situasi sekarang pascapemilu. Sebelum penetapan pemenangan kontestasi - situasi ternyata telah berbalik. Seorang teroris yang tangkap selama dan sebelum penetapan hasil pemenangan 22 Mei 2019 ada 20-an orang. Salah satunya yang bernama Dede Yusuf, yang biasa dipanggil Jundi atau Bondan, yang ditangkap Densus 88 dan memberikan statemen di media. Statemen tersebut membuat kita tersadar bahwa kini terorisme dalam demokrasi itu mencoba mengambil peran dengan cara menyerang KPU dan Bawaslu. Alasannya logis bahwa "Syirik akbar" harus dituntaskan karena Syirik Akbar itu ternyata tidak lagi hanya ditonton seperti kasus pilgub DKI dulu, harus ada amaliyah nyata. Dede dalam sebuah kesempatan menyampaikan testimoninya sbb; "Assalamualaikum. Nama saya Dede Yusuf alias Jundi alias Bondan. Saya memimpin beberapa ikhwan untuk melakukan amaliyah pada 22 Mei dengan menggunakan bom yang sudah saya rangkai dan menggunakan remote control. Yang mana pada tanggal tersebut sudah kita ketahui bahwa di situ akan ada kerumunan massa yang merupakan event yang bagus untuk saya melakukan amaliyah, karena di situ memang merupakan pesta demokrasi yang menurut keyakinan saya adalah syirik Akbar yang membatalkan keislaman. Yang termasuk baroah melepas diri saya dari kesyirikan tesebut." Pendapat Dede sebetulnya secara substantif sama dengan pendapat kelompok radikal agama pro kekerasan lain saat pelengseran Ahok dulu yang berpendapat bahwa demokrasi ala Pancasila itu keliru. Mereka menganggap pesta demokrasi di Indonesia itu sebagai "syirik " atau " syirik akbar" yang dapat membatalkan keislaman yang termasuk baroah (ampunan) agar dapat melepas dari kesyirikan-kesyirikan tersebut. Mencermati itu maka bisa dipastikan bahwa mereka (teroris) tidak lagi menggunakan faham klasik dan menonton. Kini mereka akan main di sembarang kolam walaupun itu bukan kolam mereka. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan