Puasa dan Kuasa

  • Bagikan
Ilyas Alimuddin. (ist)
Oleh: Ilyas Alimuddin (Dosen Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP), FEB UHO Kendari) Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pemilu pada 21 Mei lalu, tensi politik di tanah air semakin menghangat. Aksi unjuk rasa pun mulai terjadi sebagai wujud protes. Korban jiwa pun tak terelakkan. Melihat fenomena ini, untuk mengantisipasi dan meminimalisir efek destruktif maka pemerintah mengambil kebijakan untuk sementara waktu menutup akses media sosial. Alasannya tentu karena medsos dianggap sebagai sarana untuk menyebarkan konten hoaks ataupun ujaran kebencian. Tentu jika ini dibiarkan akan mudah menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk bertindak anarkis. Kejadian ini tentu menjadi sebuah keprihatinan. Hasil dari kontestasi mestinya bisa diterima oleh kedua belah pihak. Yang kalah maupun yang menang. Andai saja ini bisa dilakukan, dan pada saat yang sama bisa mengendalikan diri, tentulah kondisinya tidak akan seperti ini. Lebih ironis lagi karena ini terjadi di bulan ramadan. Bulan yang begitu suci dan diagungkan oleh umat Islam. Bulan yang mestinya diisi dengan ibadah dan menebar kebaikan justru yang terjadi sebaliknya. Apalagi sebagaimana keyakinan yang dipahami, khususnya di sepuluh hari terakhir ramadan mestinya manusia lebih banyak menepi dari hiruk-pikuk dunia. Mengoptimalkan untuk beribadah. Namun, apa yang terjadi justru kekhusyukan dan kesucian ramadan ternoda oleh ulah segelintir oknum yang masih mengaku sebagai muslim. Puasa ramadan yang sejatinya adalah madrasah pengendalian diri. Bukan hanya mendidik untuk mengendalikan diri dari perbuatan maksiat atau haram tapi juga melatih manusia menahan diri dari perbuatan yang hukumnya halal dilakukan di bulan lainnya. Makanan atau minuman itu halal dikonsumsi tapi di siang hari padabulan ramadan menjadi haram.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan