Oleh: Aidir Amin Daud
Mengisi waktu senggang liburan lebaran —saya mencoba menonton ulang film “Hotel Mumbai”. Kisah nyata tentang sebuah serangan teroris di Taj Hotel di Mumbai, India yang terjadi pada tahun 2008. Sebuah kenyataan juga tentang lemahnya kesiapan aparat keamanan lokal di Mumbai dalam menghadapi serangan teroris yang hanya dilakukan sekelompok teroris. Hampir delapan jam tanpa perlawanan sama sekali. Sebuah hal yang luarbiasa karena ‘terorisme’ yang dirancang dengan baik bisa begitu mematikan dan melumpuhkan. Serangan ‘calon-pengantin’ yang begitu apik dengan peralatan yang sempurna dan keyakinan yang begitu hebat. Semoga tidak pernah terjadi di republik ini. Apalagi kita amat meyakini timi aparat yang diberi tanggungjawab terkait anti-terorisme, memiliki kehandalan yang cukup prima. *** Bagi saya film “Taj Hotel Mumbai” bukan sekadar cerita tentang teroris. Namun juga tentang sebuah keyakinan, kesetiaan kepada keluarga, profesionalisme, kemanusiaan, dan kepahlawanan. Ketika misalnya kepala Chef - Hemant Oberoi mempersilakan stafnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Oberoi berkata, “We should try to gather whoever we can. Many of you have families at home. There is no shame in leaving.” Ternyata tak ada satupun mereka yang ingin pulang. Bahkan salah seorang di antara mereka Butler Jamon mengatakan, “I have been here thirty-five years. This is my home.” Kita juga menyaksikan bagaimana David sebagai seorang ayah memutuskan untuk menjemput bayinya. Ketika ia juga sudah bertemu sang bayi, ia memutuskan untuk meninggalkan kamar untuk segera menemui sang isteri Zahra.Taj Hotel Mumbai
