Petugas Lapas, Manusia yang Harus Super

FAJAR.CO.ID, JAKARTA—Pernahkah terpikir, bagaimana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dilihat dari sudut pandang seorang petugas yang menjaganya, seorang sipir? Sempatkah terpikir bahwa kadang sebuah Lapas berpenghuni ribuan orang hanya dijaga petugas yang jumlahnya kurang dari jumlah jari-jari di tangan kita?
Barangkali pengalaman dua orang pegawai Kemenkumham yang sempat bertugas di Lapas dan Balai Pemasyarakatan (Bapas), Putu Aryuni Damayanti dan Evie Loliancy, bisa menjawab kedua pertanyaan itu.
Evie Loliancy merasakan sendiri betapa beratnya menjadi petugas Lapas. Dia pernah bertugas di sebuah Lapas berkapasitas maksimum 459 orang yang dihuni sekitar 1.900 hingga 2.000 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), istilah yang dirasa lebih manusiawi dibanding terma lama, narapidana alias napi.
Untuk penghuni sebanyak itu, Lapas hanya memiliki 30-an orang petugas dengan satu regu pengamanan yang beranggotakan enam orang. “Jadi, jangan tanya bagaimana enam petugas pengamanan ini bisa mengatasi 2.000-an orang bila mereka berontak dan membuat kerusuhan. Jelas nyaris mustahil,” kata Evie.
Sementara semua petugas Lapas sadar, mereka tidak hidup berkomunitas bersama para WBP dalam kondisi normal. Kondisi kejiwaan para WBP sulit untuk normal. “Berapa lama pun hukuman yang diterima WBP, tetap saja membuat merasa terkekang dan terbatasi kebebasannya. Dan itu yang bisa memantik kekecewaan dan rasa marah WBP,” tutur Evie.
Bayangkan bagaimana para WBP dengan pidana mati, seumur hidup atau puluhan tahun itu hidup dari hari, ke jam, ke menit dan detik, seolah hanya menantikan pergerakan matahari. “Bukankah bagi yang diputus mati, wajar bila datang pikiran apakah mereka baik atau tidak baik pun sama saja, sudah jelas hukuman mereka mati atau seumur hidup?” Belum lagi manakala WBP dengan hukuman setahun atau dua, tiba-tiba terkena perkara lain yang membuat hukuman mereka bertambah saat masih dalam penjara.