Ketahanan Keluarga di Era Industri 4.0

Oleh: Darma Endrawati (Fungsional Statistisi Muda BPS Sulsel)
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan objek sekaligus subjek pembangunan. Seiring bergesernya orientasi pembangunan yang menempatkan pembangunan ekonomi setara dengan pembangunan sosial, menjadikan keluarga objek/tujuan pembangunan.
Di sisi lain, sumber daya manusia yang berasal dari keluarga berkulitas akan menjadi subjek /pelaku akselerasi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi akan kehilangan makna manakala tak dibarengi peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Peraturan Pemerintah No. 87 tahun 2014 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, keluarga berencana, dan sistem informasi keluarga menyebutkan bahwa ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kondisi keluarga seperti inilah yang menjadi mimpi besar pembangunan di Indonesia.
Memasuki era industri 4,0 menjadi tantangan besar bagi ketahanan keluarga. Perkembangan teknologi informasi demikian kencangnya memasuki ruang ruang pribadi keluarga. Data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Sulawesi Selatan menyebutkan pada tahun 2016 persentase penduduk 5 tahun ke atas yang mengakses internet sebesar 24 persen dan meningkat menjadi 37 persen di tahun 2018.
Kondisi ini ibarat dua mata pisau yang membawa dampak positif maupun negatif. Derasnya informasi digital membawa perubahan besar pada nilai-nilai luhur keluarga. Perubahan tersebut terkadang membawa paradigma baru bagi kalangan muda dalam memandang keluarga. Permisivitas terhadap pornografi, perilau seksual yang menyimpang, kelahiran anak di luar nikah, sampai pernikahan dini merupakan dampak yang cukup serius.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengungkapkan, setiap hari ada 50 ribu aktivitas pengguna internet di Indonesia mengakses konten pornografi. Fakta lainnya, fenomena pernikahan dini di Sulawesi Selatan terbilang cukup tinggi. Pada tahun 2018, persentase perempuan usia 15-19 tahun yang berstatus kawin/pernah kawin sebesar 8,80 persen. Tercatat separuh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memiliki persentase di atas 10 persen dengan 3 tertinggi di Kabupaten Takalar, Bantaeng dan Barru.
Pada kenyataannya banyak ditemukan kasus pernikahan di bawah usia 15 tahun yang tentu saja semakin menambah besar persentase pernikahan dini. Menghadapi berbagai tantangan terkait kemajuan teknologi, menjadi PR besar bagi para orang tua untuk senantiasa belajar. Pola asuh orang tua harus mengikuti perkembangan zaman. Kesenjangan kemampuan teknologi dan informasi antara orang tua dan anak menjadi celah bagi berbagai dampak negatif yang akan menggerus ketahanan keluarga. Komunikasi intensif antar anggota keluarga menjadi kunci sukses ketahanan keluarga.
Hasil pendataan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 di Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa 41,5 persen remaja wanita melakukan diskusi tentang kesehatan reproduksi dengan ibu dan hanya 3,6 persen mendiskusikannya dengan ayah. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada remaja pria.
Persentase remaja pria yang mendiskusikan kesehatan reproduksi dengan ibu hanya 6,9 persen dan dengan ayah 4,5 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa peluang anak anak mendiskusikan kesehatan reproduksi dengan pihak lain yang belum tentu benar terbuka lebar.
Di era industri 4.0 otomatisasi dan digitalisasi berdampak pada perekonomian. Siapapun yang tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi akan tergilas oleh perubahan. Keluarga berperan besar dalam menyiapkan generasi yang mampu bersaing memperebutkan pasar kerja.
Kecerdasan buatan akan bertarung dengan kecerdasan alami manusia. Stephen Hawking memprediksi akan ada masa di mana kecerdasan buatan akan mencapai titik bahwa teknologi ini lebih efektif ketimbang manusia. Hal ini bakal membuat manusia menjadi tak berguna lagi. Di masa mendatang semakin banyak aktivitas yang dulunya dilakukan manusia diambil alih mesin.
Untuk menjembatani hal ini pengembangan kecerdasan buatan harus diiringi dengan kecerdasan alami manusia. Nilai-nilai norma, etika, dan agama tidak dimiliki oleh kecerdasan buatan. Porsi inilah yang diperankan oleh keluarga. Pendidikan karakter dalam keluarga tetap harus dikedepankan. Gegap gempitanya semua pihak dalam mengejar kemajuan teknologi industri 4.0 kiranya tidak melupakan ketahanan keluarga sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia. (*)