Masalah Impor Sampah

  • Bagikan
Oleh: Syarifuddin Umar (Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Di saat penanganan sampah dalam negeri belum bisa dilakukan dengan baik, justru Indonesia menjadi salah satu negara tujuan impor sampah dari luar negeri. Kasus sampah impor terkuak setelah ditemukan oleh lembaga nirlaba lingkungan, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) bersama The Party Department pada awal Mei 2019. Rinciannya, 11 kontainer berisi sampah plastik impor dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, dan sisanya ke Batam, Kepulauan Riau. Di Surabaya, sampah plastik tersebut diketahui diselundupkan melalui impor scrap kertas. Adapun di Batam, sampah plastik itu diselundupkan melalui impor scrap plastik. Patut diduga hal ini disebabkan oleh kebijakan China tahun 2018 untuk menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Akibatnya, sampah plastik pun beralih tujuan ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Bagaimana respons negara ASEAN menyikapi hal ini ? Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merilis bahwa sejumlah negara ASEAN telah merespons perubahan perdagangan sampah plastik global dengan pembatasan impor. Bulan Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan menargetkan pelarangan impor tahun 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2.000 persen atau 91.505 ton tahun 2018. Vietnam juga sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah dan sisa plastik, kertas, serta logam. Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan pengiriman kembali (re-export) 69 kontainer berisi sampah ke Kanada. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia menyikapi impor sampah?. Berdasarkan data BPS (2018) menunjukkan ada peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen (283.152 ton), angka ini merupakan puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir dan pada 2013 impor sampah plastik Indonesia sekitar 124.433 ton. Menurut data Greenpeace yang dikutip Mongabay, eksportir sampah terbanyak ke Indonesia adalah Inggris dengan sekitar 67,807 ton pada Januari-November 2018, diikuti 59,668 ton dari Jerman, 42,130 ton dari Australia, kemudian berturut-turut Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, dan Hongkong di peringkat berikutnya. Dari aspek regulasi, larangan masuknya sampah ke wilayah Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29 ayat (1) huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 menyatakan bahwa setiap orang dilarang: memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengimpor sampah, mencampur sampah dengan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3). Larangan serupa juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa setiap orang dilarang memasukkan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang mengatur keterkaitan secara terpadu setiap simpul Pengelolaan Limbah B3 yaitu kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pemanfaatan, dan penimbunan Limbah B3. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993. Konvensi Basel mengatur perpindahan lintas batas limbah secara internasional, yang menetapkan pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif. Berkaitan dengan masalah tersebut di atas, beberapa hal perlu dilakukan berkaitan dengan impor sampah yang terindikasi bercampur dengan limbah B3. Pertama, benahi regulasi. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah non- Bahan Berbahaya dan Beracun. Poin revisi adalah mengubah HS Code berisi kata “lain-lain” menjadi lebih spesifik. Kata “lain-lain” ini diduga menjadi celah masuk bagi jenis sampah itu. Di samping itu, perlu diatur persentase kontaminan yang diperbolehkan dalam impor material bahan baku daur ulang. Hal ini perlu sebagai acuan bersama bagi aparat atau importir dan eksportir dalam menjaga kualitas material. Kedua, Melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman kontainer yang berisi sampah dan limbah B3 ke Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mengirim kembali (re-export) sampah dan limbah B3 tersebut ke negara asalnya. Hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa Indonesia bukanlah tujuan pembuangan sampah dan limbah B3. Ketiga, Tingkatkan koordinasi dan pengawasan antar departemen dan aparat penegak hukum. Kempat, Optimalisasi pengelolaan sampah. Sistem pengelolaan sampah dengan konsep 3R (reduce, reuse, recycle) belum berjalan secara maksimal dengan angka daur ulang masih 10 persen hingga 20 persen. Impor bahan baku material daur ulang berupa kertas dan plastik terpaksa dilakukan karena pasokan dalam negeri belum bisa memenuhi padahal potensi dalam negeri sangat besar. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan