Memoles Potensi Desa Wisata Sulsel

  • Bagikan
Oleh: Shaela Mayasari (Statistisi Muda di BPS Kabupaten Maros) Tak bisa dipungkiri, pengalaman wisata menjadi hal mengasyikkan untuk sejenak lepas dari jebakan rutinitas. Refreshing jasmaniah ini penting untung penyegaran otak maupun fisik setelah lelah bekerja keras. Desa wisata adalah alternatif terbaik memenuhi hasrat tersebut. Puncak Lolai, di Kabupaten Tana Toraja yang dijuluki negeri di atas awan, sempat viral. Dari masyarakat biasa, wakil presiden, hingga ibunda presiden sempat mendatanginya. Di mana lagi bisa merasakan sensasi berada di tengah-tengah lautan awan, dengan suasana asri dan dinginnya alam pedesaan. Lolai adalah satu contoh desa wisata dari sekian destinasi desa wisata di Sulawesi Selatan (Sulsel). Masyarakat sekarang lebih memilih produk wisata yang menghargai kelestarian alam, budaya serta ramah lingkungan. Desa wisata adalah pilihan terbaik memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Ciri khasnya berupa kekayaan alam, budaya, lingkungan, tradisi membuat wisatawan tertarik mengenal, dan mempelajari keunikan desa wisata. Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel melalui pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 mencatat, dari 3.049 wilayah administrasi pemerintah setingkat desa yang terdiri dari 2.255 desa, 792 kelurahan, dan 2 UPT/SPT, terdapat 60 desa wisata yang ada di Sulsel. Desa wisata paling banyak berasal dari Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja, Barru, Enrekang, dan Kota Makassar. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2014 yang hanya 45 desa wisata. Selain panorama alam yang mengagumkan, Sulsel memiliki banyak kebudayaan asli yang tentunya patut ditawarkan ke masyarakat nasional,ataupun internasional. Potensi desa inilah yang harusnya dieksplor oleh pihak pemerintah setempat menjadi desa wisata. Terlebih sektor pariwisata digadang menjadi ekonomi unggulan pada masa yang akan datang. Saat ini, sektor pariwisata berhasil menjadi 5 besar penyumbang devisa negara, seiring dengan meningkatnya wisatawan nusantara dan mancanegara tiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi iklim sejuk untuk mengembangkan desa wisata. Keberadaan bandara internasional, diharap menjadi pintu gerbang wisatawan nusantara dan mancanegara ke desa-desa wisata yang dituju di Sulsel.Ditambah fakta data Podes menyebutkan bahwa 2.422 desa/kelurahan (79 persen) memiliki permukaan jalan darat terluas aspal/beton, yang tentunya makin mempermudah akses transportasi ke titik-titik desa wisata. Ada Desa Bone-bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, yang menerapkan larangan merokok sejak tahun 2000 bagi seluruh penduduknya. Keistimewaan Desa Bone Bone sebagai kawasan tanpa rokok banyak menarik perhatian wisatawan. Banyak peneliti dari dalam maupun luar negeri yang tertarik melakukan penelitian di Desa Bone-Bone. Bahkan,desa ini disinyalir oleh WHO sebagai desa pertama di dunia yang bebas asap rokok. Bayangkan betapa segar dan sehatnya kehidupan tanpa polusi di sana. Di sini ada unsur sikap dan nilai (Attitudes and Values) sebagai salah satu prinsip desa wisata, selain prinsip keaslian (Authenticity), tradisi masyarakat setempat (local tradition), serta konservasi dan daya dukung (conservation dan carrying capacity) Berdasarkan topografi wilayah, data Podes BPS mencatat jumlah desa/ kelurahan di Sulsel yang merupakan lereng gunung sebanyak 678, lembah sebanyak 99 desa/ kelurahan, dan 2.272 merupakan daratan. Sementara jika melihat lokasi desa/kelurahan terhadap laut, dari 3.049 desa/ kelurahan, sebanyak 527 berada di tepi laut. Di dalam lokasi hutan, ada 23 desa. Hal ini harus menjadi perhatian pihak terkait. Sebab tentu produk/inovasi khas desa wisata harus mempertimbangkan aspek-aspek di atas. Seiring perkembangan teknologi, segala keterbatasan di desa mulai teratasi. Perkembangan internet, membuat kita bisa mempromosikan dan menjual produk wisata ke end user langsung. Biaya sosialisasi dan pemasaran terpangkas. Informasi bisa menyebar luas dalam hitungan detik. Terlebih minat konsumen wisata yang didominasi kaum milenial, yang sering menggaungkan slogan ‘kurang piknik’ sangat haus akan spot-spot menarik untuk berswafoto. Lokasi wisata sangat mudah diviralkan. Sepanjang itu unik dan dan dikemas apik. Meski tantangan lain untuk mengembangkan desa wisata ialah bencana alam, yang bisa datang kapan saja. Sehingga diperlukan upaya/ mitigasi bencana alam. Dengan adanya desa wisata, maka akan menarik pertumbuhan sektor ekonomi lain yang terkait dengan pariwisata, seperti hotel/wisma dan restoran, angkutan, industri kerajinan, industri kreatif, kuliner, dan sebagainya yang diharap berbasis pemberdayaan komunitas lokal. Ini harus menjadi komitmen bersama antara pemerintah setempat, stakeholder, dan masyarakat sekitarnya. Melalui multiplier effect ini, desa wisata diharap mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui infrastrukturnya dan penciptaan lapangan kerja. Sehingga aset kekayaan alam, budaya, dan SDM-nya dapat terpelihara baik. (*)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan