Islam dan Peradaban yang Hilang

Oleh: M. Affian Nasser (Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an & Tafsir, Pascasarjana UIN Alauddin Makassar)
Ziauddin Sardar pernah mengatakan “Different Civilizations have produced distinctively different sciences” bahwa peradaban yang berbeda telah menghasilkan ilmu pengetahuan yang berbeda.
Selama ini, diskursus terhadap kajian agama selalu berputar pada kajian normatif dan agama diposisikan sebagai dogma yang mengajarkan bagaimana hubungan antara Tuhan dengan hamba-Nya, serta aspek pemaknaan ajaran agama dalam ruang lingkup masyarakat.
Kalau diamati, ada ruang yang sering dilupakan dalam pendefinisian agama, terutama Islam, yaitu spirit peradaban ilmiah yang justru menjadikan Islam sebagai pusat peradaban dunia. Islam sebagai sebuah peradaban merupakan perwujudan dari keutuhan spritual dan material yang didasarkan pada nilai, norma, dan pandangan kosmologi dalam berbagai dimensi.
Apakah kita pernah mendengar istilah Islamic Golden Age? Itulah puncak masa keemasan kejayaan Islam yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah, mulai dari pertengahan abad ke-8 hingga abad ke-13 yang ditandai dengan perkembangan intelektual yang tidak tertandingi di semua bidang seperti sains, teknologi, linguistik, pendidikan, dan kedokteran.
Dalam rekaman sejarah, masa dinasti Abbasiyah, budaya Islam menjadi campuran dari tradisi Arab, Persia, Mesir, dan Eropa. Keterbukaan Islam menjadi faktor penting lahirnya peradaban, akulturasi budaya serta semangat penerjemahan dari hasil karya pemikiran Yunani menambah khazanah yang menghasilkan prestasi intelektual dan budaya menakjubkan.