Menyejahterakan Keluarga dari Pinggiran

Oleh: M. Dahlan Abubakar (Ketua IPKB Sulawesi Selatan)
Butir ke-3 agenda Pembangunan Nasional (Nawacita), ”Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam rangka Negara Kesatuan”, merupakan amanah yang ditujukan langsung kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Salah satu agenda BKKBN guna mewujudkan keluarga sejahtera adalah dengan membangun Kampung Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo 14 Januari 2016 di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Penulis sempat menyambangi Kampung KB ini pada tahun 2018 bersama rombongan BKKBN Sulawesi Selatan.
Kampung KB terbentuk di seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan. Bahkan ada kabupaten/kota yang memiliki Kampung KB lebih dari satu. Laporan terakhir per Maret 2019, hingga kini di Sulawesi Selatan sudah dicanangkan terbentuknya 330 Kampung KB.
Dalam tataran idealnya, Kampung KB merupakan muara hasil kolaborasi dan sinergitas program lintas instansi dengan leading sector –tentu saja – BKKBN. Setiap instansi dapat merancang program sesuai dengan “kompetensi”-nya masing-masing guna mencapai satu tujuan Kampung KB, yakni meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).
Pembangunan keluarga yang dilaksanakan melalui program KKBPK merupakan tanggung jawab bersama, bukan melulu tanggung jawab BKKBN. Dampak dari salah membangun manusia Indonesia ini akan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan, tidak akan pernah diterima secara sektoral berdasarkan kelembagaan dan institusional pemerintahan.
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan keluarga melalui program KKBPK ini meningkatnya total fertiliy rate (TFR), yakni angka rata-rata kesuburan. Laporan terakhir Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Rini Riatika Djohari pada pertemuan minggu ketiga Maret 2019 di Hotel Claro Makassar menyebutkan, TFR Sulsel berdasarkan Susenas 2015 berhasil diturunkan menjadi 2,39.
Hanya saja yang menjadi persoalan,berdasarkan laporan rutin Desember 2017, jumlah tingkat putus pakai kontrasepsi masih cukup tinggi, yakni 173.189 akseptor dan terjadi pada 24 kabupaten/kota. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah peserta KB baru pada tahun yang sama. Data ini perlu disikapi dalam upaya kita meningkatkan kuantitas peserta KB aktif.
Bonus demografi
Salah satu masalah yang sangat krusial dihadapi Indonesia kini adalah sudah memasuki era Bonus Demografi yang berlangsung hingga tahun 2036. Bonus demografi adalah suatu kondisi saat komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif. Penduduk usia produktif adalah penduduk yang berada pada rentang umur 15-64 tahun. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada 2020-2030 jumlah penduduk usia produktif di Indonesia akan mencapai 52 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Jumlah penduduk usia produktif tersebut merupakan modal utama bagi Indonesia menyongsong Indonesia emas pada tahun 2045, yakni 100 tahun Indonesia merdeka. Tetapi kita harus ingat, bonus demografi bagaikan pedang bermata dua. Pada satu sisi akan membawa berkah dan pada sisi yang lain mengusung musibah.
Bonus demografi membawa berkah jika penduduk usia produktif 52 persen itu dapat memberikan manfaat, misalnya dalam penciptaan lapangan kerja baru. Di sisi lain, bonus demografi akan menjadi malapetaka jika penduduk sebanyak itu justru tidak produktif dan akan jadi beban masyarakat serta menambah jumlah orang yang tidak bekerja alias menganggur.
Berdasarkan survei penduduk antarsensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diprediksi mencapai 266,91 juta jiwa. Pada era bonus demografi, seorang produktif (bekerja) akan memiliki beban menanggung 0,46 orang yang tidak bekerja. Itu berarti dua orang (0,96 dibulatkan jadi satu) yang tidak bekerja akan menjadi tanggungan seorang yang bekerja. Mengapa begitu?
Kita ambil contoh, di rumah saya terdapat dua kepala keluarga. Yakni, saya dan istri yang masing-masing menerima gaji pensiun dengan tanggungan dua cucu yang mahasiswa dan duduk di SMA. Anak kedua, perempuan yang suaminya bekerja pun memiliki dua anak yang masih belajar di sekolah dasar dan bersiap-siap masuk play group. Kepala keluarga yang pertama, memiliki tanggungan dua orang yang belum bekerja. Sementara anak perempuan saya bersama dua anaknya ditanggung oleh satu orang (suaminya), sehingga tanggungannya tiga orang.
Tanggungan ini memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Mulai dari uang bensin sepeda motor yang dikendarainya, uang pulsa, uang bakso, dan macam-macam. Bayangkan saja betapa ribetnya. Itu baru dua anak, apatah lagi kalau lebih. Memang orang masih selalu percaya dengan banyak anak banyak rezeki. Itu mungkin dulu, ketika kebutuhan anak belum se-abrek sekarang.
Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, program KKBPK harus dibudayakan dalam masyarakat agar tercipta keluarga sejahtera yang berkualitas. Jika tidak, beban keluarga akan bertambah berat. Beruntung, istri dan anak-anak saya hanya memiliki dua anak cukup. (*)