Patah Pensil Versi UNESCO

  • Bagikan
Oleh: Sabir (Kepala SMA Plus Al Ashri Global Mandiri Makassar) Di zaman orde lama hingga awal orde baru, orang yang pintar membaca dan menulis masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Mampu membaca dan menulis adalah keahlian yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengenyam bangku sekolah, sementara masih banyak orang yang lebih berpikir bagaimana mengenyangkan diri daripada memikirkan pendidikan. Dari sinilah keluar istilah patah pensil untuk orang-orang yang putus sekolah. Orang-orang ‘patah pensil’ ini sangat banyak karena memang masih lebih penting untuk mencari makan daripada mencari ilmu. Karena kekhawatiran pemerintah dengan rakyatnya yang banyak buta aksara maka lahirlah program pemberantasan buta aksara Kejar Paket A yang menyasar warga negara yang tidak bisa membaca dan menulis. Kini, di abad 21, di zaman yang ketidakmampuan membaca dan menulis telah hampir punah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan program Gerakan Literasi Nasional. Gerakan ini mengarahkan pendidikan nasional agar berfokus pada tiga hal pokok yaitu literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakter. Dalam hal literasi dasar, pendidikan nasional yang diharapkan adalah pendidikan yang berporos pada literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Literat versi UNESCO Di zaman orde lama dan orde baru yang rakyatnya banyak buta aksara lebih dikejar untuk belajar membaca dan menulis. Kini yang menjadi poros utama untuk diberi perlakuan khusus bukan lagi kepada penderita buta aksara melainkan kepada orang yang melek aksara tetapi tak bisa menaklukkan teknologi dalam membaca dan menulis. Literasi di zaman now tidak lagi sekadar bisa mengeja ba-bi-bu atau ini Budi, ini Ibu Budi tetapi lebih daripada itu. Bagaimana memahami bahwa Budi bukan sekadar nama orang melainkan juga bisa berarti watak, perbuatan baik, ataupun akhlak. Bahwa kata ini adalah salah satu kata penunjuk. Dalam konteks pelajaran Bahasa Indonesia, materi tidak disuguhkan untuk dihafal tetapi untuk dipahami. Bagaimana memahami kalimat utama, gagasan utama, isi, kesimpulan, dan ringkasan sebuah teks. Hal ini selaras dengan Dekalarasi UNESCO 2003 bahwa literasi baca-tulis terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan, dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan literasi baca-tulis versi deklarasi UNESCO ini harus menjadi tuntunan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi di tengah gempuran teknologi informasi. Tanpa kecakapan literasi baca-tulis yang mumpuni, orang yang menerima informasi tak akan mampu untuk menganalisis dan mengidentifikasi kebenaran informasi yang diterimanya. Akhirnya, informasi yang diterima hanya dibaca tanpa pemahaman lalu dipercayai tanpa saringan bahkan hingga akhirnya disebar begitu saja. Hoaks-hoaks lalu bermunculan dan anehnya dipercayai banyak orang. Siapa yang menyebarkannya? Adalah orang-orang yang kemampuan literasi baca-tulisnya masih rendah. Siapa yang memercayainya? Adalah orang-orang yang kemampuan literasi baca-tulisnya masih rendah. Siapa orang-orang itu? Tentu saja bukanlah orang-orang yang buta aksara bahkan bisa jadi mereka adalah intelektual tetapi bisa bersikap intelek dalam berliterasi. Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam literasi baca-tulis ini adalah kemampuan menuliskan ide. Hoaks tak bisa dilawan dengan diam. Sebuah berita bohong harus dibalas dengan tulisan yang meluruskan kebohongan tersebut. Sayyid Quthb, ilmuwan, sastrawan, sekaligus ahli tafsir Mesir menuliskan bahwa satu peluru hanya bisa menembus satu kepala tetapi satu tulisan mampu menembus jutaan kepala. Di sekolah, keluarga, hingga masyarakat, indikator keberhasilan literasi bukan hanya banyaknya bacaan ataupun frekuensi membaca yang tinggi melainkan juga berapa karya yang dihasilkan. Ketika kemampuan literasi tak bisa berpuas diri dengan berkurangnya penderita buta aksara, maka kemampuan literasi baca-tulis tak bisa hanya berhenti dengan munculnya generasi yang suka membaca tetapi juga generasi yang mampu menulis. Literasi keluarga Orang yang memiliki kecakapan literasi baca-tulis, dalam hal ini benar-benar cakap seperti isi dekalarasi UNESCO, adalah orang-orang terpandang dan tak bisa dipandang sebelah mata. Keluarga punya peran untuk itu, dengan memberikan teladan gemar membaca kepada kepada anak dan mendampinginya untuk membiasakan diri menuliskan hal-hal sederhana. Di sekolah anak mendapatkan arahan berliterasi, di rumah diperkuat dengan keteladanan orang tua, meskipun sekadar membaca koran di setiap pagi sebelum berangkat kerja. Kini patah pensil bukan lagi karena putus sekolah melainkan karena tidak literat versi UNESCO.***
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan