Kebijakan Ekonomi dan Pendidikan: Realitas atau Citra Populis?

Sistem ekonomi yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 merupakan suatu bentuk ideologi perekonomian yang demokratis sekaligus tameng dalam menghadapi segala permasalahan ekonomi di kehidupan bermasyarakat terutama kesenjangan ekonomi yang akan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Terealisasinya pasal 33 UUD 1945 dengan bijak pada bidang ekonomi di Indonesia tentunya akan menjadi syarat materil terwujudnya sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Prinsip ekonomi yang demokratis dan berkerakyatan akan tetap menjadi mimpi belaka yang indah, jika pemangku kebijakan negeri ini tidak mengimplementasikan konsep yang ada di dalam kehidupan nyata, tapi seorang pemimpin yang amanah, adil, dan bijaksana adalah ia yang mampu berkomitmen dan konsekuen demi terwujudnya kesejahteraan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Hematnya, kebijakan dalam sektor ekonomi diorientasikan pada terwujudnya perekonomian berasas kekeluargaan sesuai amanah pasal 33 UUD 1945, sehingga hal demikian akan meretas ketimpangan ekonomi yang dirasakan beberapa elemen masyarakat.
Kebijakan ekonomi yang memprioritaskan hajat hidup orang banyak merupakan udara segar bagi masyarakat untuk mengakses beberapa sektor. Salah satu yang paling urgen yakni sektor pendidikan.
Akses pendidikan tentu memerlukan pembiayaan meskipun dalam konstitusi hal demikian tidak menjadi hal yang paling esensial bagi masyarakat yang memiliki ekonomi ke bawah (kurang mampu).
Tahun 2016-2018 dilansir dari beberapa hasil survei, salah satunya adalah Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 77 persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi, dari sini bisa dilihat bahwa kebijakan pendidikan tentang pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan tampaknya mengalami sedikit degradasi antara cita-cita dan realitas.