Beri Grasi Terpidana Kejahatan Seksual, Komnas: Presiden Cederai Gerakan Perlindungan Anak

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perlindungan Anak menilai Kebijakan Presiden RI, Joko Widodo, yang mengabulkan permohonan grasi (ampunan) terpidana kasus kejahatan seksual terhadap siswa di Jakarta International School (JIS) mencederai gerakan nasional perlindungan anak.
Kejahatan yang telah dilakukan Neil Bantlemen warga negara Kanada itu telah mencederai dan melemahkan gerakan masyarakat dan para Pegiat Perlindungan Anak dalam memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia yang saat ini telah menjadi komitmen Gerakan Nasional.
Permohonan grasi yang didasarkan pada UU RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi itu, artinya Neil Bantlemen mengakui kesalahannya dan kemudian minta pengampunan kepada Presiden atas perbuatannya. Karena grasi merupakan pengakuan bersalah, pengampunan berupa perubahan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan presiden.
Oleh sebab itu, atas pengabulan grasi terhadap kejahatan seksual itu, Komnas Perlindungan Anak menilai justru grasi yang diberikan Presiden telah mengabaikan isi dari Ketentuan UU RI nomor 17 tahun 2016 mengenai Penerapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen yang diberikan mandat, tugas oleh masyarakat untuk memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia segera menulis surat kepada Presiden RI untuk mempertanyakan latar belakang dan pertimbangan pemberian grasi kepada mantan guru di Jakarta Internasional School (JIS) itu yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman 11 tahun penjara.
"Rasanya kok saya tidak percaya Presiden Jokowi mengabulkan permohonan grasi predator kejahatan seksual terhadap anak," katanya, kepada FAJAR, Sabtu (13/7/2019).
Sementara, kata dia, atas maraknya kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak 10 tahun belakangan ini di Indonesia maka perhatian serius terhadap masalah ini menerbitkan Perpu Nomor 01 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, agar para predator kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum luar biasa.
Serta menempatkan dan menetapkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan seksual itu juga disetarakan dengan tindak pidana khusus seperti narkoba terorisme dan korupsi dan para predator kejahatan seksual terhadap anak dapat dihukum seumur hidup dan hukuman mati serta dapat pula ditambahkan dengan hukuman tambahan dan atau pemberatan berupa kebiri (kastrasi) melalui suntik kimia dan pemasangan chip di tubuh para predator.
Arist sapaan karibnya menuturkan, sekalipun Presiden mengabulkan permohonan grasi Neil Bantlemen, Komnas Perlindungan Anak terus mengajak dan mendorong semangat masyarakat dan para pegiat perlindungan anak di Indonesia untuk tidak henti-hentinya terus memberikan pembelaan dan perlindungan terhadap anak.
"Harus diteruskan aksi nasional memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia sebagai komitmen nasional berbasis masyarakat," jelasnya.
Arist menjelaskan kasus ini, pada April 2005 PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Neil Bantlemen karena dinyatakan bersalah telah melakukan kejahatan seksual terhadap siswanya di JIS.
Tidak menerima putusan ini kemudian Neil mengajukan banding atas putusan pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dan oleh engadilan Tinggi Jakarta pada Agustus 2015 putusan PN Jakarta Selatan itu dianulir dan Neil dinyatakan bebas, namun setelah bebas 2 bulan, kembali lagi Neil menghuni penjara karena tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) memvonis Neil bersalah dengan menghukum 11 tahun penjara.
Namun melalui Keppres Nomor 13/G/ 2019 tertanggal 19 Juni 2019 hukuman Neil menjadi berkurang dari 11 tahun menjadi 5 tahun dan 1 bulan serta denda 100.000.000, akhirnya 20 Juni 2019 dibebaskan dan saat ini Neil Bantlemen sudah berada di negaranya, Kanada. (gun)